13.5.14

PAK UDIN

Oleh: Muhammad Mahrus
 
-Satu -

Jalanan di timur stadion kridosono masih tergenang air. Sebagian pengendara tampak hati-hati sekali. Sebagian yang lain, yang melaju dari arah barat, tampak kaget mendapati aspal yang terendam air bah itu. Tiap kali musim hujan tiba, dengan curah hujan rata-rata sekali pun jalanan Kotabaru ini memang acap kali tergenang dengan air bah. Tinggi air pun tidak sama. Kadang bisa mencapai tiga puluh centi. Ketinggian yang cukup melampaui trotoar jalan. Sore itu, di angkringan Kang Yono yang terletak di sudut timur Masjid At-Taqwa Kotabaru, di trotoar jalan, Pak Udin berteduh sambil menikmati teh panas. Beberapa orang juga tengah bersantai di sana. Kecuali Pak Udin, mereka adalah warga komplek Kompi Kotabaru. Seorang di antaranya  adalah Pak Wahib, seorang Korps Marinir Angkatan Darat.

Di angkringan itu, Pak Wahib sedang berbincang serius dengan Pak Udin. Yang lain lebih banyak mendengar saja. Begitu juga dengan Kang Yono. Selain sebagai Marinir, Pak Wahib orang yang cukup memiliki visi dalam bidang entrepreneurship. Tengkulak rosok. Ya, itulah usaha yang ditekuni Pak Wahib sambil menjalankan tugasnya sebagai abdi Negara. Sementara Pak Udin, adalah satu dari beberapa pemulung yang rajin setor rosok ke timbangan Pak Wahib.
Dalam pembicaraan itu, Pak Wahib memberi tawaran kepada Pak Udin untuk menjadi pekerjanya. Sebagai tukang timbang dan menjalankan setiap operasionalnya. Akhir dari perbincangan itu Pak Udin mengambil tawaran dari Pak Wahib. Pak Udin sendiri sudah banyak dikenal dan mengenal orang-orang di sekitar area komplek, stasiun, dan pasar lempuyangan. Meski tidak ada satu pun dari mereka yang mengenal Pak Udin lebih dari sekedar nama dan pekerjaannya hingga ia bekerja di tempat Pak Wahib. Pun Pak Wahib sendiri.
Pak Wahib menilai, Pak Udin adalah pemulung unik dibanding dengan pemulung lain yang juga setor barang rosok ke tempatnya. Setiap setor barang, dan itu hampir setiap hari, Pak Udin hanya menjual hasil rosoknya senilai kebutuhan makan untuk sehari itu juga. Jika barang yang akan dijualnya pada Pak Wahib melebihi kebutuhannya, pasti dia akan menyimpan sisanya untuk hari berikutnya. Tidak sering memang, tapi sesekali barang sisa itu juga ditimbang sekalian tanpa meminta nilai yang harus dibayarnya. Baru pada esok harinya dia akan membawa sejumlah barang rosok lagi untuk ditambahkan pada timbangan sebelumnya. Praktis, karena alasan inilah Pak Wahib tertarik untuk mempekerjakannya sebagai karyawan tetap.
Beberapa bulan sudah berjalan. Pak Udin tampak menikmatinya. Semenjak sore di angkringan Kang Yono itu, Pak Udin diterima layaknya saudara di keluarga Pak Udin. Sesekali Pak Udin juga mengantar anak Pak Wahib yang masih SD dan TK berangkat sekolah. Satu unit motor juga sudah dipercayakan pada Pak Udin berikut STNK-nya. Hanya saja, sampai waktu itu Pak Udin tidak bersedia tinggal di rumah keluarga Pak Wahib. Ia lebih memilih tidur di tempat penimbangan barang yang terletak beberapa meter di timur angkringan Kang Yono. Atau, jika tidak, dia akan tidur di kamar penjaga masjid At-Taqwa. Keberadaannya diterima karena Pak Udin juga semakin aktif shalat berjamaah di masjid tersebut.
Semenjak keterlibatan Pak Udin, usaha Pak Wahib terbilang semakin lancar. Beberapa orang mulai meminta bantuan Pak Udin untuk mereparasi barang elektronik seperti hanphone, tv, kipas angin, dan semacamnya. Semuanya ditangani Pak Udin di sela waktu luangnya. Dan atas pendapat Pak Wahib, hasil pekerjaan sampingan itu biarlah menjadi hak dari Pak Udin sendiri. Tapi dari keahlian dalam bidang elektronik itu, Pak Wahib akhirnya membeli tiga unit kamera video berikut lighting dan seperangkat alat shooting. Dengan peralatan itu Pak Wahib membuka satu unit usaha baru dengan Pak Udin sebagai pelaksana operasionalnya. LSM; Lembaga Shooting Manten.

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.