Oleh: Muhammad Mahrus
-Satu-
Di sebuah dusun sederhana,
tanpa pipa PAM dan listrik bertenaga surya, tanpa banyak polusi udara, tanpa
pabrik-pabrik dan mini perumahan, tanpa perempuan dengan rok mini; di samping
mushalla tanpa jendela tempat anak-anak bermain sambil menunggu maghrib, aku
tinggal dengan sejarah. Isteriku, kurasa sudah cukup bahagia walau masih
harus berjalan kaki untuk sekedar mengantar makanan ke kaki-kaki gunung Semeru.
Tidak jauh, memang. Tapi juga tidak begitu dekat dari Semeru. Isteriku,
perempuan yang kupinang dari daerah pegunungan sekitar Sindoro itu, seakan
tiada lainnya.
Namaku Lontar. Aku belum pernah hidup sebelumnya kecuali setelah
dikandung emakku. Aku lahir di dusun sederhana ini sejak 30 tahun lalu dan
berharap bisa mati di sini pula; Di dusun yang tidak ada apa-apanya ini menurut
kacamata Descartes dan bahkan Husserl sekalipun. Tapi aku pernah singgah di
beberapa kota yang ada segala-galanya seperti yang dibayangkan Descartes jauh
setelah dia sendiri mati. Tidak lama. Tapi cukup untuk sekedar tahu jalan-jalan
tikus ketika ada razia Satpol Lantas Kota. Berikut hiruk pikuk yang tak pernah
diketahui emak dan anakku. Sedangkan isteriku, di sebuah kota yang keramat
itulah awal kali aku mengenalnya.
Di sebuah dusun yang sederhana, dengan nyanyian bait-bait syair Abu
Nuwwas oleh anak-anak setelah adzan subuh bertalu, baktiku pada emak ingin
kutuntaskan walau jasanya tak kan kuasa kubayar. Ini sudah menjadi pilihan
jalan hidupku. Biar saja orang mengira aku menarik diri dari hiruk pikuk
modernisme. Sementara aku hanya tak mau diperbudak olehnya. Aku, dan juga
isteriku, sudah sepakat akan hal ini. Tinggal mengajarkan pada
anak-keturunanku, bahwa dunia semakin gelap saja. Pendar-pendar cahaya ilahiah
semakin sirna. Dan lampu-lampu modernitas menghijau. Seiring tanah yang
menangis sendu tatkala ia terkubur beton dan aspal.
Memang, nabiku mengajarkan untuk mencari kebutuhan dunia seakan manusia
akan hidup selamanya. Anggap saja ini tentang tambang minyak dan segenap
kekayaan alam yang seakan tak habis digali. Tentang kecanggihan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tentang mesin-mesin yang menggantikan tenaga
manusia. Atau tentang legam punggung seorang lelaki dibawah neraca penghitung
laba. Atau tentang cerita hidup anak manusia yang dijual oleh media. Tapi
nabiku juga mengajarkan untuk mencari kebutuhan akhirat seakan manusia akan
mati esok hari.
Di dusun sederhana itu, masih banyak sawah-sawah yang hijau. Kebun kopi
yang luas. Tebu-tebu, cengkeh, jagung dan singkong. Juga aneka pisang di
pinggiran ladang dan di antara sebagian kebun kopi dan cengkeh. Ada pula yang
ditanami pepohonan industri semisal sengon, jabon, dan jati. Barongan bambu pun
masih jamak dijumpai di sekitaran bantaran kali. Dari bambu petung yang biasa
dipakai untuk usuk dan tulangan penyangga genteng di rumah-rumah, atau bambu
apus, bambu ori, hingga bambu tali yang paling tipis dibandingkan lainnya.
Semua masih tersedia untuk suplai kebutuhan kota-kota besar hingga tujuh
turunan sekalipun.
Kini aku menggarap empat petak tanah yang letaknya berjauhan. Keempatnya
adalah kebun kopi dengan sistem tumpang sari. Jadi di antaranya masih ada
beberapa pohon cengkeh yang siap berbuah dalam tiga tahun sekali. Ada pula
beberapa jenis pisang yang siap ditunggu buahnya di sela masa panen kopi. Tidak
banyak memang. Tapi ada saja dalam setiap minggu yang siap diambil buahnya.
Beberapa jenis akar-akaran juga sudah tumbuh semisal ketela pohon dan talas.
Hanya saja, yang paling dominan adalah kopi dengan masa panen setahun sekali.
Tentu saja harganya selalu naik turun. Ketika masa panen sudah terlewat lama,
maka harganya bisa naik setinggi harapan petani ketika panen. Tapi ketika masa
panen benar-benar tiba, harganya pun turun seperti yang diingikan industri.
Cukup adil untuk para tengkulak kopi tapi tidak bagi petani.
to be contineud...
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.