11.5.14

NAMAKU LONTAR


Oleh: Muhammad Mahrus
 
-Satu-

Di sebuah dusun sederhana, tanpa pipa PAM dan listrik bertenaga surya, tanpa banyak polusi udara, tanpa pabrik-pabrik dan mini perumahan, tanpa perempuan dengan rok mini; di samping mushalla tanpa jendela tempat anak-anak bermain sambil menunggu maghrib, aku tinggal dengan sejarah. Isteriku, kurasa sudah cukup bahagia walau masih harus berjalan kaki untuk sekedar mengantar makanan ke kaki-kaki gunung Semeru. Tidak jauh, memang. Tapi juga tidak begitu dekat dari Semeru. Isteriku, perempuan yang kupinang dari daerah pegunungan sekitar Sindoro itu, seakan tiada lainnya.

Namaku Lontar. Aku belum pernah hidup sebelumnya kecuali setelah dikandung emakku. Aku lahir di dusun sederhana ini sejak 30 tahun lalu dan berharap bisa mati di sini pula; Di dusun yang tidak ada apa-apanya ini menurut kacamata Descartes dan bahkan Husserl sekalipun. Tapi aku pernah singgah di beberapa kota yang ada segala-galanya seperti yang dibayangkan Descartes jauh setelah dia sendiri mati. Tidak lama. Tapi cukup untuk sekedar tahu jalan-jalan tikus ketika ada razia Satpol Lantas Kota. Berikut hiruk pikuk yang tak pernah diketahui emak dan anakku. Sedangkan isteriku, di sebuah kota yang keramat itulah awal kali aku mengenalnya.
Di sebuah dusun yang sederhana, dengan nyanyian bait-bait syair Abu Nuwwas oleh anak-anak setelah adzan subuh bertalu, baktiku pada emak ingin kutuntaskan walau jasanya tak kan kuasa kubayar. Ini sudah menjadi pilihan jalan hidupku. Biar saja orang mengira aku menarik diri dari hiruk pikuk modernisme. Sementara aku hanya tak mau diperbudak olehnya. Aku, dan juga isteriku, sudah sepakat akan hal ini. Tinggal mengajarkan pada anak-keturunanku, bahwa dunia semakin gelap saja. Pendar-pendar cahaya ilahiah semakin sirna. Dan lampu-lampu modernitas menghijau. Seiring tanah yang menangis sendu tatkala ia terkubur beton dan aspal.
Memang, nabiku mengajarkan untuk mencari kebutuhan dunia seakan manusia akan hidup selamanya. Anggap saja ini tentang tambang minyak dan segenap kekayaan alam yang seakan tak habis digali. Tentang kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentang mesin-mesin yang menggantikan tenaga manusia. Atau tentang legam punggung seorang lelaki dibawah neraca penghitung laba. Atau tentang cerita hidup anak manusia yang dijual oleh media. Tapi nabiku juga mengajarkan untuk mencari kebutuhan akhirat seakan manusia akan mati esok hari.
Di dusun sederhana itu, masih banyak sawah-sawah yang hijau. Kebun kopi yang luas. Tebu-tebu, cengkeh, jagung dan singkong. Juga aneka pisang di pinggiran ladang dan di antara sebagian kebun kopi dan cengkeh. Ada pula yang ditanami pepohonan industri semisal sengon, jabon, dan jati. Barongan bambu pun masih jamak dijumpai di sekitaran bantaran kali. Dari bambu petung yang biasa dipakai untuk usuk dan tulangan penyangga genteng di rumah-rumah, atau bambu apus, bambu ori, hingga bambu tali yang paling tipis dibandingkan lainnya. Semua masih tersedia untuk suplai kebutuhan kota-kota besar hingga tujuh turunan sekalipun.
Kini aku menggarap empat petak tanah yang letaknya berjauhan. Keempatnya adalah kebun kopi dengan sistem tumpang sari. Jadi di antaranya masih ada beberapa pohon cengkeh yang siap berbuah dalam tiga tahun sekali. Ada pula beberapa jenis pisang yang siap ditunggu buahnya di sela masa panen kopi. Tidak banyak memang. Tapi ada saja dalam setiap minggu yang siap diambil buahnya. Beberapa jenis akar-akaran juga sudah tumbuh semisal ketela pohon dan talas. Hanya saja, yang paling dominan adalah kopi dengan masa panen setahun sekali. Tentu saja harganya selalu naik turun. Ketika masa panen sudah terlewat lama, maka harganya bisa naik setinggi harapan petani ketika panen. Tapi ketika masa panen benar-benar tiba, harganya pun turun seperti yang diingikan industri. Cukup adil untuk para tengkulak kopi tapi tidak bagi petani.
to be contineud...

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.