11.2.13

SELAMATKAN ANAK INDONESIA DARI KEKURANGAN KOPI


Oleh: Muhammad Mahrus*

BLANDONGAN… Begitulah mereka menyebutnya. Setidaknya sebutan itu memang sudah tertera di gerbang utama tempat anak-anak biasa nongkrong sambil ngobrol ngalor-ngidul. Dari pusat keramaian, tempat itu masih bisa dikatakan jauh dan perlu sedikit perjuangan untuk mencapainya. Jika berada di posisi tenggaranya, maka masih harus melalui daerah aliran sungai, lalu menyusuri rel kereta api.
            Tapi jangan salah. Di sana, anak-anak yang nongkrong tidak semata-mata ngobrol hal-hal tidak perlu. Di semua meja yang bertuan, sebagian besar terdengar perbincangan masalah bisnis dan kegiatan masing-masing. Dengan hanya secangkir kopi, semua masalah terselesaikan.
            "Mau ke Blandongan nggak kau?" ajak Fanin lewat telephon genggamnya.
"Ya iya lah, masa ya-IAIN…!!" jawab  suara di seberang.
"Ok, kita ketemuan di sana lima belas menit lagi."
"Beres."
"Songolikur " kata Fanin lirih dan cepat.
"Wa'alaikum salam." Jawab temannya salah dengar.
Dengan ontel bututnya, Fanin langsung menyusuri jalan setapak yang menjadi jalan pintas yang biasa ia lewati. Setelah mencapai tanjakan sedikit kemudian belok kiri dan sampai di pinggir rel kereta api. Kemudian ia mengikuti arah jalur rel tersebut yang membujur ke arah barat-timur dengan jarak tempuh kurang lebih seratus lima puluh meter. Sampai di jalan besar, ia belok kanan dan melintasi rel yang tadi ia ikuti arahnya. Tidak kurang dari lima puluh lima meter ia sudah sampai di gerbang masuk kafe tradisional itu.
"Halo, Sam... Sudah lama kau di sini?" ucap Fanin sambil menjabat tangan salah seorang yang duduk di pojok kafe itu.
"Iya, Bro. Sendirian? Anak-anak pada ke mana?" balas temannya itu.
"Mereka ada acara di Rayon."
"Memang belum selesai? Kan, planing acaranya cuman sampai kemarin sore!"
"Nggak tahu aku, tapi nyatanya, sampai sekarang belum selesai."
"Yah… padahal aku banyak persoalan sekarang ini. Oh iya, tadi kau menyapa aku dengan istilah apa?" kata temannya yang sebenarnya akrab dipanggil Dauman. Anak kelahiran Sumenep Madura. Katanya, ia akademisi yang juga aktif di PMII, suatu organisasi pergerakan yang ada di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
"Sam…" sejenak ia diam. "Itu sapaan akrab anak Malang. Pernah dengarkan bahasa akrabnya anak Malang?"
"Iya sih, tapi bukannya kita lebih baik beradaptasi saja."
"Aku sepakat. Tapi aku punya pertanyaan tentang ini."
Ia diam menunggu reaksi temannya itu. Tapi kali ini yang ia tunggu ternyata tidak muncul berupa kata, hanya raut muka temannya itu yang ia rasakan sedikit menunjukkan kebingungan.
"Menurutmu, kenapa orang-orang kulit warna dulu bisa sukses menjajah tanah air?" lalu ia menyeruput kopi yang telah ia pesan tadi.
"Mereka kan bawa dagangan, itu yang pertama. Trus mereka bawa senjata juga kan."
"Trus apa lagi?"
"Situasinya juga didukung oleh keadaan masyarakat yang waktu itu lagi gila sama barang-barang yang bersifat ’wah’  menurut pandangan mereka."
"Kemudian?"
"Kemudian juga akibat kegagalan para wali memperkuat dasar teologi ke-Tuhanan sebagian besar moyang kita."
"Sebentar, apa hubungannya sama teologi ke-Tuhanan?" potong Fanin.
"Ini nih korban sejarah kurikulum. Makanya kalo belajar sejarah jangan cuma mengandalkan kurikulum Diknas, cari buku sejarah lain."
"Iya deh, kali ini aku yang kurang sejarahnya, teruskan."
"Andaikan orang-orang dulu itu tidak mau mengedepankan kama (nafsu) dari pada dharma (ibadah), kemugkinan besar para penjajah  tidak akan sesukses itu. Tapi yang terjadi sebaliknya. Usaha keras para wali dalam membimbing masyarakatnya tidak begitu berhasil. Memang kedengarannya agak sedikit lucu. Masa menghadapi para pendatang asing hanya dengan meneguhkan teologi saja, bukannya yang lebih riil jika menghadang mereka di pesisir. Tapi yang jelas, jauh sebelum kedatangan mereka, para wali itu sudah bisa merasakan niat pendatang tersebut, yang akhirnya kita sebut dengan penjajah itu.
"Para wali itu sudah merasa bahwa kedatangan mereka itu tidak hanya membawa dagangan. Mereka juga membawa peradaban, agama, senjata dan keserakahan. Singkat cerita, jika pada tahap dagang mereka sudah bisa dihadang, langkah mereka selanjutnya akan sulit mereka jalankan. Kenyataanya, pada tahap awal moyang kita sudah kalah. Mereka tergiur dengan barang-barang bawaan para pendatang. Bayangkan, jika awalnya tidak ada yang pakaiannya terbuat dari kain, hanya terbuat dari goni kemudian ditawarkan berbagai jenis kain, mulai dari yang biasa-biasa sampai yang sutra, siapa coba yang tidak tergiur kalo bukan orang-orang yang imannnya memadai!"
"Ok, mungkin itu sangat jelas. Pertanyaan selanjutnya, kalo memang para wali bisa merasakan niat kedatangan mereka jauh-jauh hari, kenapa mereka juga tidak mencoba membentuk kekuatan militer?" Fanin bertanya, ia tidak mau terlihat seperti anak blo'on.
"Pendapatku, urusan militer dan pemerintahan sudah ada yang mengatur, yaitu kerajaan. Kita tahu bahwa asal mula terbentuknya Majlis Wali Songo itu kan biar ada yang mengurusi sendiri urusan keagamaan, itu satu. Dua, jika kita langsung menghadang dengan pedang terhunus dan tombak teracung ke udara, kita akan tetap tidak berkutik, sebab senjata mereka sudah jauh lebih mutakhir. Terakhir, sikap semacam itu sama sekali tidak mencerminkan adat asli tanah air yang ramah."
"Waow, keren. Satu lagi. Penjelasan tentang tahap demi tahap yang dijalankan para penjajah itu bagaimana?" Tanya Fanin lagi sambil memperbaiki posisi duduknya.
"Mereka bisa sampai ke sini dan ke berbagai daratan lain itu karena: Pertama, berangkat dari revolusi industri. Dua, penemuan kompas. Tiga, informasi perjalanan Cristopher Colombus (penemu Benua Amerika) yang telah membuktikan bahwa dunia itu bulat. Nah, setelah itu para penguasa orang seberang itu mengirimkan ekspedisinya masing-masing untuk berebut daerah kekuasaan. Setelah salah satu dari mereka berhasil mendarat dan disambut dengan baik oleh moyang kita, terjadilah transaksi dagang itu. Hal itulah yang kemudian memicu keserakahan mereka. Usaha dagang yang sukses itu membuat rumah produksinya kekurangan bahan, dan mereka mencium bau sumber daya alam yang mereka butuhkan di sini. Tapi, ini hanya salah satu perspektif saja."
Setelah memberikan penjelasan panjang lebar ia tersenyum sendiri. Ia bangga pada sedikit pengetahuan sejarah yang ia kuasai karena baru saja menguliahi temannya. Kemudian ia meneguk habis sisa kopinya yang sudah tinggal separuh.
"Fantastik, baru kali ini aku kagum pada pengetahuanmu, Sam!" ia memberi jeda sejenak "tapi aku ragu kau bisa menjawab persoalan pertama kita." Dengan gaya sedikit mencibir, menggoda.
"Ok, kalo yang itu aku blank, nyerah." Kata temannya sambil mengangkat kedua tangannya.
"Nah. Rahasia mereka itu saya rasa sudah kau jelaskan sendiri, panjang lebar lagi. Tapi masa kau belum juga mengerti bahwa mereka itu juga membawa peradabannya. Maksudku jika kita ingin sukses di daerah orang, kita juga harus bisa membawa peradaban kita, setidaknya memperkenalkanlah."
Dan percakapan mereka pun berakhir. Kopi yang mereka berdua sanding sudah sama-sama habis. Pengunjung pun banyak yang pulang, dan mereka mengikuti kehendak masing-masing. Pulang dan tidur.
Satu lagi masalah telah terpecahkan di Blandongan. Tempat itu sangat berpahala. Tidak hanya karena menjadi tempat tukar pikiran, tapi juga telah menyelamatkan putera Indonesia dari kekurangan kopi. Tanaman yang terpaksa ditanam para moyang kita sebagai ekologi dari sebuah keserakahan dan kepentingan perut. Setidaknya para moyang kita menjadi leluhur yang tidak sia-sia menanamnya.

Yogyakarta, 06 Juli 2008
* Anggota Korp PAHLAWAN, PMII Rayon Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.