Oleh: Muhammad Mahrus*
BLANDONGAN… Begitulah
mereka menyebutnya. Setidaknya sebutan itu memang sudah tertera di gerbang
utama tempat anak-anak biasa nongkrong sambil ngobrol ngalor-ngidul. Dari pusat
keramaian, tempat itu masih bisa dikatakan jauh dan perlu sedikit perjuangan
untuk mencapainya. Jika berada di posisi tenggaranya, maka masih harus melalui
daerah aliran sungai, lalu menyusuri rel kereta api.
Tapi
jangan salah. Di sana, anak-anak yang nongkrong tidak semata-mata ngobrol
hal-hal tidak perlu. Di semua meja yang bertuan, sebagian besar terdengar
perbincangan masalah bisnis dan kegiatan masing-masing. Dengan hanya secangkir
kopi, semua masalah terselesaikan.
"Mau
ke Blandongan nggak kau?" ajak Fanin lewat telephon genggamnya.
"Ya iya lah, masa ya-IAIN…!!" jawab suara di
seberang.
"Ok, kita ketemuan di
sana lima belas menit lagi."
"Beres."
"Wa'alaikum salam."
Jawab temannya salah dengar.
Dengan ontel bututnya,
Fanin langsung menyusuri jalan setapak yang menjadi jalan pintas yang biasa ia
lewati. Setelah mencapai tanjakan sedikit kemudian belok kiri dan sampai di
pinggir rel kereta api. Kemudian ia mengikuti arah jalur rel tersebut yang membujur ke arah barat-timur
dengan jarak tempuh kurang lebih seratus lima puluh meter. Sampai di jalan
besar, ia belok kanan dan melintasi rel yang tadi ia ikuti arahnya. Tidak
kurang dari lima puluh lima meter ia sudah sampai di gerbang masuk kafe
tradisional itu.
"Halo, Sam... Sudah
lama kau di sini?" ucap Fanin sambil menjabat tangan salah seorang yang
duduk di pojok kafe itu.
"Iya, Bro. Sendirian?
Anak-anak pada ke mana?" balas temannya itu.
"Mereka ada acara di
Rayon."
"Memang belum
selesai? Kan, planing acaranya cuman sampai kemarin sore!"
"Nggak tahu aku, tapi
nyatanya, sampai sekarang belum selesai."
"Yah… padahal aku
banyak persoalan sekarang ini. Oh iya, tadi kau menyapa aku dengan istilah
apa?" kata temannya yang sebenarnya akrab dipanggil Dauman. Anak kelahiran
Sumenep Madura. Katanya, ia akademisi yang juga aktif di PMII, suatu organisasi
pergerakan yang ada di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
"Sam…" sejenak
ia diam. "Itu sapaan akrab anak Malang. Pernah dengarkan bahasa akrabnya anak Malang?"
"Iya sih, tapi bukannya
kita lebih baik beradaptasi saja."
"Aku sepakat. Tapi
aku punya pertanyaan tentang ini."
Ia diam menunggu reaksi
temannya itu. Tapi kali ini yang ia tunggu ternyata tidak muncul berupa kata,
hanya raut muka temannya itu yang ia rasakan sedikit menunjukkan kebingungan.
"Menurutmu, kenapa
orang-orang kulit warna dulu bisa sukses menjajah tanah air?" lalu ia
menyeruput kopi yang telah ia pesan tadi.
"Mereka kan bawa
dagangan, itu yang pertama. Trus mereka bawa senjata juga kan."
"Trus apa lagi?"
"Situasinya juga
didukung oleh keadaan masyarakat yang waktu itu lagi gila sama barang-barang
yang bersifat ’wah’ menurut
pandangan mereka."
"Kemudian?"
"Kemudian juga akibat
kegagalan para wali memperkuat dasar teologi ke-Tuhanan sebagian besar moyang
kita."
"Sebentar, apa
hubungannya sama teologi ke-Tuhanan?" potong Fanin.
"Ini nih korban
sejarah kurikulum. Makanya kalo belajar sejarah jangan cuma mengandalkan
kurikulum Diknas, cari buku sejarah lain."
"Iya deh, kali ini
aku yang kurang sejarahnya, teruskan."
"Andaikan orang-orang
dulu itu tidak mau mengedepankan kama (nafsu) dari pada dharma (ibadah),
kemugkinan besar para penjajah tidak
akan sesukses itu. Tapi yang terjadi sebaliknya. Usaha keras para wali dalam
membimbing masyarakatnya tidak begitu berhasil. Memang kedengarannya agak
sedikit lucu. Masa menghadapi para pendatang asing hanya dengan meneguhkan
teologi saja, bukannya yang lebih riil jika menghadang mereka di pesisir. Tapi
yang jelas, jauh sebelum kedatangan mereka, para wali itu sudah bisa merasakan
niat pendatang tersebut, yang akhirnya kita sebut dengan penjajah itu.
"Para wali itu sudah
merasa bahwa kedatangan mereka itu tidak hanya membawa dagangan. Mereka juga
membawa peradaban, agama, senjata dan keserakahan. Singkat cerita, jika pada
tahap dagang mereka sudah bisa dihadang, langkah mereka selanjutnya akan sulit
mereka jalankan. Kenyataanya, pada tahap awal moyang kita sudah kalah. Mereka
tergiur dengan barang-barang bawaan para pendatang. Bayangkan, jika awalnya
tidak ada yang pakaiannya terbuat dari kain, hanya terbuat dari goni
kemudian ditawarkan berbagai jenis kain, mulai dari yang biasa-biasa sampai
yang sutra, siapa coba yang tidak tergiur kalo bukan orang-orang yang imannnya
memadai!"
"Ok, mungkin itu
sangat jelas. Pertanyaan selanjutnya, kalo memang para wali bisa merasakan niat
kedatangan mereka jauh-jauh hari, kenapa mereka juga tidak mencoba membentuk
kekuatan militer?" Fanin bertanya, ia tidak mau terlihat seperti anak
blo'on.
"Pendapatku, urusan
militer dan pemerintahan sudah ada yang mengatur, yaitu kerajaan. Kita tahu
bahwa asal mula terbentuknya Majlis Wali Songo itu kan biar ada yang mengurusi
sendiri urusan keagamaan, itu satu. Dua, jika kita langsung menghadang dengan
pedang terhunus dan tombak teracung ke udara, kita akan tetap tidak berkutik,
sebab senjata mereka sudah jauh lebih mutakhir. Terakhir, sikap semacam itu
sama sekali tidak mencerminkan adat asli tanah air yang ramah."
"Waow, keren. Satu
lagi. Penjelasan tentang tahap demi tahap yang dijalankan para penjajah itu bagaimana?"
Tanya Fanin lagi sambil memperbaiki posisi duduknya.
"Mereka bisa sampai
ke sini dan ke berbagai daratan lain itu karena: Pertama, berangkat dari
revolusi industri. Dua, penemuan kompas. Tiga, informasi perjalanan Cristopher
Colombus (penemu Benua Amerika) yang telah membuktikan bahwa dunia itu bulat.
Nah, setelah itu para penguasa orang seberang itu mengirimkan ekspedisinya
masing-masing untuk berebut daerah kekuasaan. Setelah salah satu dari mereka
berhasil mendarat dan disambut dengan baik oleh moyang kita, terjadilah
transaksi dagang itu. Hal itulah yang kemudian memicu keserakahan mereka. Usaha
dagang yang sukses itu membuat rumah produksinya kekurangan bahan, dan mereka
mencium bau sumber daya alam yang mereka butuhkan di sini. Tapi, ini hanya salah
satu perspektif saja."
Setelah memberikan
penjelasan panjang lebar ia tersenyum sendiri. Ia bangga pada sedikit
pengetahuan sejarah yang ia kuasai karena baru saja menguliahi temannya. Kemudian
ia meneguk habis sisa kopinya yang sudah tinggal separuh.
"Fantastik, baru kali
ini aku kagum pada pengetahuanmu, Sam!" ia memberi jeda sejenak "tapi
aku ragu kau bisa menjawab persoalan pertama kita." Dengan gaya sedikit
mencibir, menggoda.
"Ok, kalo yang itu
aku blank, nyerah." Kata temannya sambil mengangkat kedua tangannya.
"Nah. Rahasia mereka
itu saya rasa sudah kau jelaskan sendiri, panjang lebar lagi. Tapi masa kau
belum juga mengerti bahwa mereka itu juga membawa peradabannya. Maksudku jika
kita ingin sukses di daerah orang, kita juga harus bisa membawa peradaban kita,
setidaknya memperkenalkanlah."
Dan percakapan mereka pun
berakhir. Kopi yang mereka berdua sanding sudah sama-sama habis. Pengunjung pun
banyak yang pulang, dan mereka mengikuti kehendak masing-masing. Pulang dan
tidur.
Satu lagi masalah telah
terpecahkan di Blandongan. Tempat itu sangat berpahala. Tidak hanya karena
menjadi tempat tukar pikiran, tapi juga telah menyelamatkan putera Indonesia
dari kekurangan kopi. Tanaman yang terpaksa ditanam para moyang kita sebagai ekologi dari sebuah keserakahan dan kepentingan perut. Setidaknya para moyang
kita menjadi leluhur yang tidak sia-sia menanamnya.
Yogyakarta, 06 Juli 2008
* Anggota Korp PAHLAWAN, PMII
Rayon Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.