Muhammad Mahrus*
Semacam Abstraksi
Ketika
seseorang memberhentikan akalnya, kemudian membiarkan segala sesuatu menjadi realitas
di luar akalnya, di situlah jiwa mulai bermain. Jiwa, di sini dimaksudkan
sebagai perwujudan bagian dari sisi kemanusiaan yang intuitif. Bagian inilah
yang menjadi benteng terakhir bagi sifat kemanusiaan seseorang. Oleh karenanya
jiwa menjadi bagian yang sangat penting, terutama ketika akal sudah tidak mampu
lagi menghadapi realitas.
Nuansa
yang dihasilkan oleh akal terkadang bertentangan dengan jiwa. Begitu juga
sebaliknya. Hal ini menunjukkan betapa juga terkadang antara akal dan jiwa
tidak dapat berjalan dalam satu jalur. Akan tetapi karena sifatnya tidak mutlak
akal masih bisa mensinergikan realitas seperti yang dikehendaki oleh jiwa.
Dalam
sebuah perspektif mungkin akan dikatakan bahwa akal hanya menterjemahkan bahasa
jiwa. Tetapi mungkin juga jiwalah yang mengamini eksternalisasi dari akal.
Karenanya terkadang kita dengar statemen-statemen seperti berfikir dulu
sebelum bertindak, atau tidak akan bertindak jika terlalu banyak
berfikir.
Secara
eksplisit di sana yang tampak adalah peran akal. Yakni dengan bertidak sebagai
terminal utama sebelum lahir realitas berupa tindakan. Demikian juga tentang
ketiadaan realitas tindakan ketika akal terlalu berbelit-belit dalam memutuskan
pertimbangan-pertimbagannya. Fenomena ini mengindikasikan adanya dominasi yang
sangat kuat oleh akal, sehingga bisa dikatakan tidak adanya keterlibatan sama
sekali dari jiwa. Padahal, jika salah satu di antara keduanya justru saling
mendominasi, akibatnya adalah ketidak-seimbangan. Ketika realitas yang terjadi
berangkat dari ketidak-seimbangan, maka hasilnya pun menjadi realitas yang
tidak seimbang; bahkan tidak ideal, barang kali.
Spiritualitas
dan Spiritualisme
Perihal
spiritualitas dan spiritualisme, dalam wilayah tertentu menjadi terkesan “tabu”
untuk dibicarakan. Sebagai argumentasi, pertama karena wacana tersebut
cenderung bersifat personal yang kemudian melahirkan perspektif “cita-rasa”.
Wilayah inilah yang menjadikan apa yang dialami seseorang tidak sama dengan
orang lain. Dan saya mengistilahkannya denga “bahasa hati”.
Kedua,
perlunya ketegasan dalam memahami dua kata yang berbeda maksud namun berangkat
dari akar kata yang sama. Saya memahami spiritualitas sebagai bangunan “nuansa”
yang tercakup dalam sebuah “realitas”. Dalam artian, nuansa tersebut “mengada”
dalam sebuah realitas, intuitif, dan transendental. Ketika sebuah realitas ada
tanpa keberadaan spiritualitas yang mengada maka keberadaan spiritualitas
tersebut perlu dipertanyakan eksistensinya. Bagaimana mungkin sebuah realitas
menjadi ada sementara spirit yang menjadikannya ada tiada?
Sementara,
spiritualisme lebih berperan sebagai paradigma. Tentu setiap orang berhak menentukan
kaca mata pandangnya dalam melihat dan mengidentivikasi sebuah realitas. Ruang
lingkupnya pun terserah. Tidak terbatas selama tidak mengganggu stabilitas dan
hukum positif yang berlaku dan diberlakukan dalam wilayah di mana paradigma
tersebut sedang digunakan. Karenanya keleluasaan ini pun pada dasarnya tidak
mutlak dan memiliki batasan. Dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa
seseorang memang memiliki keleluasaan dan fleksibilitas sebagai masyarakat
individu namun juga penting untuk dicatat bahwa seseorang tersebut adalah bagian
dari masyarakat kolektif. Selanjutnya sebut saja individual paradigm. Harapannya,
paradigma tersebut dapat diaplikasikan secara proporsional.
Dari
sifatnya yang individualistik, maka akan memunculkan paradigma-paradigma yang jamak
dan beragam. Paradigma-pradigma individu tersebut kemudian menuntut akan
adanya kolektive-konvensional paradigm demi menghubungkan
paradigma-paradigma individu. Pada tahap berikutnya, harus ada strategi—yang
sifatnya juga kolektif-konvensional—sebagai metode penterjemahan ke dalam
kehidupan masyarakat kolektif itu sendiri. Sementara di sisi lain paradigma
kolektif tersebut secara otomatis menjadi kekuatan dengan keberadaannya.
Post-Spiritualisme
Substansi
dari paradigma kolektif adalah spiritualisme itu sendiri. Yakni spirit yang
mengada dalam sebuah realitas. Sampai di sini kita tidak akan membahas lagi
mengenai konsepsi siritualisme. Tapi lebih pada tindakan praksisnya,
sebagaimana telah disinggung di atas. Bahwa, spiritualisme dimaksudkan sebagai
paradigma kolektif yang butuh terhadap penerapan secara praksis. Post-spiritualisme
adalah manifestasi dari sebuah tindakan praksis dengan spiritualisme sebagai
kekuatan yang tercakup di dalamnya.
Ditinjau
dari ranah dialektikanya, post-spiritualisme adalah eksternalisasi sebagai
perwujudan spiritualisme. Dari ekternalisasi ini akan melahirkan spiritualisme
baru yang akan menjadi suplai kekuatan terhadap ekternalisasi selanjutnya.
Karena dengan adanya spiritualisme baru tersebut, akan terjadi proses dialog
dan interaksi secara kontinyu sebagaimana proses internalisasi sebelumnya. Dan
sebagai akibatnya, lahirlah spiritualisme baru sebagai perwujudan obyektifikasi
dari proses dialektika tersebut.
Sampai
pada analisis ini mungkin akan muncul pertanyaan mengapa pada proses
eksternalisasi yang pertama dari spiritualisme sudah diklaim sebagai
post-spiritualisme? Dalam sebuah konsep teologi Islam kita mengenal adanya
konsep ad-Daur (berputar, dialektis) dan at-Tasalsul (berturut-turut,
serial). Meminjam dua istilah tersebut, apa yang terjadi dalam
dialektika spiritualisme dan post-spiritualisme, lebih dekat terhadap proses ad-Daur.
Relevansinya, pertama karena apa yang terjadi merupakan rangkaian proses yang
berulang-ulang saja (dalam hal ini lebih dimaksudkan pada post-spiritualisme)
meskipun dalam proses perjalanannya tetap diharapkan adanya nilai
progressifitas, yakni perubahan kepada wujud yang lebih baik. Kedua, at-Tasalsul tidak dimaksudkan dalam
ranah tahapan; perwujudannya hanya pengganti dari perwujudan yang sebelumnya.
Karenanya jika konsep ini yang menjadi pencerminan dari dialektika yang
dimaksud, maka tidak ada nilai progressifitas sebagaimana yang terjadi dalam
proses ad-Daur dan akan menjadi lemah dengan sendirinya.
* Moch. Mahrus, Mahasiswa Theologi dan Filsafat
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.