23.12.12

POST-SPIRITUALISME; AYAM ATAU TELORNYA?

Muhammad Mahrus*

Semacam Abstraksi
Ketika seseorang memberhentikan akalnya, kemudian membiarkan segala sesuatu menjadi realitas di luar akalnya, di situlah jiwa mulai bermain. Jiwa, di sini dimaksudkan sebagai perwujudan bagian dari sisi kemanusiaan yang intuitif. Bagian inilah yang menjadi benteng terakhir bagi sifat kemanusiaan seseorang. Oleh karenanya jiwa menjadi bagian yang sangat penting, terutama ketika akal sudah tidak mampu lagi menghadapi realitas.
Nuansa yang dihasilkan oleh akal terkadang bertentangan dengan jiwa. Begitu juga sebaliknya. Hal ini menunjukkan betapa juga terkadang antara akal dan jiwa tidak dapat berjalan dalam satu jalur. Akan tetapi karena sifatnya tidak mutlak akal masih bisa mensinergikan realitas seperti yang dikehendaki oleh jiwa.
Dalam sebuah perspektif mungkin akan dikatakan bahwa akal hanya menterjemahkan bahasa jiwa. Tetapi mungkin juga jiwalah yang mengamini eksternalisasi dari akal. Karenanya terkadang kita dengar statemen-statemen seperti berfikir dulu sebelum bertindak, atau tidak akan bertindak jika terlalu banyak berfikir.
Secara eksplisit di sana yang tampak adalah peran akal. Yakni dengan bertidak sebagai terminal utama sebelum lahir realitas berupa tindakan. Demikian juga tentang ketiadaan realitas tindakan ketika akal terlalu berbelit-belit dalam memutuskan pertimbangan-pertimbagannya. Fenomena ini mengindikasikan adanya dominasi yang sangat kuat oleh akal, sehingga bisa dikatakan tidak adanya keterlibatan sama sekali dari jiwa. Padahal, jika salah satu di antara keduanya justru saling mendominasi, akibatnya adalah ketidak-seimbangan. Ketika realitas yang terjadi berangkat dari ketidak-seimbangan, maka hasilnya pun menjadi realitas yang tidak seimbang; bahkan tidak ideal, barang kali.

Spiritualitas dan Spiritualisme
Perihal spiritualitas dan spiritualisme, dalam wilayah tertentu menjadi terkesan “tabu” untuk dibicarakan. Sebagai argumentasi, pertama karena wacana tersebut cenderung bersifat personal yang kemudian melahirkan perspektif “cita-rasa”. Wilayah inilah yang menjadikan apa yang dialami seseorang tidak sama dengan orang lain. Dan saya mengistilahkannya denga “bahasa hati”.
Kedua, perlunya ketegasan dalam memahami dua kata yang berbeda maksud namun berangkat dari akar kata yang sama. Saya memahami spiritualitas sebagai bangunan “nuansa” yang tercakup dalam sebuah “realitas”. Dalam artian, nuansa tersebut “mengada” dalam sebuah realitas, intuitif, dan transendental. Ketika sebuah realitas ada tanpa keberadaan spiritualitas yang mengada maka keberadaan spiritualitas tersebut perlu dipertanyakan eksistensinya. Bagaimana mungkin sebuah realitas menjadi ada sementara spirit yang menjadikannya ada tiada?
Sementara, spiritualisme lebih berperan sebagai paradigma. Tentu setiap orang berhak menentukan kaca mata pandangnya dalam melihat dan mengidentivikasi sebuah realitas. Ruang lingkupnya pun terserah. Tidak terbatas selama tidak mengganggu stabilitas dan hukum positif yang berlaku dan diberlakukan dalam wilayah di mana paradigma tersebut sedang digunakan. Karenanya keleluasaan ini pun pada dasarnya tidak mutlak dan memiliki batasan. Dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa seseorang memang memiliki keleluasaan dan fleksibilitas sebagai masyarakat individu namun juga penting untuk dicatat bahwa seseorang tersebut adalah bagian dari masyarakat kolektif. Selanjutnya sebut saja individual paradigm. Harapannya, paradigma tersebut dapat diaplikasikan secara proporsional.
Dari sifatnya yang individualistik, maka akan memunculkan paradigma-paradigma yang jamak dan beragam. Paradigma-pradigma individu tersebut kemudian menuntut akan adanya kolektive-konvensional paradigm demi menghubungkan paradigma-paradigma individu. Pada tahap berikutnya, harus ada strategi—yang sifatnya juga kolektif-konvensional—sebagai metode penterjemahan ke dalam kehidupan masyarakat kolektif itu sendiri. Sementara di sisi lain paradigma kolektif tersebut secara otomatis menjadi kekuatan dengan keberadaannya.

Post-Spiritualisme
Substansi dari paradigma kolektif adalah spiritualisme itu sendiri. Yakni spirit yang mengada dalam sebuah realitas. Sampai di sini kita tidak akan membahas lagi mengenai konsepsi siritualisme. Tapi lebih pada tindakan praksisnya, sebagaimana telah disinggung di atas. Bahwa, spiritualisme dimaksudkan sebagai paradigma kolektif yang butuh terhadap penerapan secara praksis. Post-spiritualisme adalah manifestasi dari sebuah tindakan praksis dengan spiritualisme sebagai kekuatan yang tercakup di dalamnya.
Ditinjau dari ranah dialektikanya, post-spiritualisme adalah eksternalisasi sebagai perwujudan spiritualisme. Dari ekternalisasi ini akan melahirkan spiritualisme baru yang akan menjadi suplai kekuatan terhadap ekternalisasi selanjutnya. Karena dengan adanya spiritualisme baru tersebut, akan terjadi proses dialog dan interaksi secara kontinyu sebagaimana proses internalisasi sebelumnya. Dan sebagai akibatnya, lahirlah spiritualisme baru sebagai perwujudan obyektifikasi dari proses dialektika tersebut.
Sampai pada analisis ini mungkin akan muncul pertanyaan mengapa pada proses eksternalisasi yang pertama dari spiritualisme sudah diklaim sebagai post-spiritualisme? Dalam sebuah konsep teologi Islam kita mengenal adanya konsep ­ad-Daur (berputar, dialektis) dan at-Tasalsul (berturut-turut, serial). Meminjam dua istilah tersebut, apa yang terjadi dalam dialektika spiritualisme dan post-spiritualisme, lebih dekat terhadap proses ad-Daur. Relevansinya, pertama karena apa yang terjadi merupakan rangkaian proses yang berulang-ulang saja (dalam hal ini lebih dimaksudkan pada post-spiritualisme) meskipun dalam proses perjalanannya tetap diharapkan adanya nilai progressifitas, yakni perubahan kepada wujud yang lebih baik. Kedua, at-Tasalsul tidak dimaksudkan dalam ranah tahapan; perwujudannya hanya pengganti dari perwujudan yang sebelumnya. Karenanya jika konsep ini yang menjadi pencerminan dari dialektika yang dimaksud, maka tidak ada nilai progressifitas sebagaimana yang terjadi dalam proses ad-Daur dan akan menjadi lemah dengan sendirinya.

* Moch. Mahrus,  Mahasiswa Theologi dan Filsafat
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.