22.12.12

AKU MENULIS MAKA AKU ADA

Aku Menulis Maka Aku Ada[1]
Oleh: Muhammad Mahrus[2]
Semacam Abstraksi
Tradisi menulis di dunia Islam sebenarnya sudah dimulai sejak masa Khulafaur Rasyidun, terutama pada masa khalifah Utsman bin Affan, ra. Dimana sejarah ditulisnya Al-Qur’an pertama kali dilakukan secara komprehensif. Tradisi ini kemudian dikembangkan seiring perkembangan pemikiran Islam pada masa Bani Abasiyah. Dalam hal ini khalifah Abasiyah (Harun al-Rasyid) menunjukkan keseriusannya dengan memediasi tradisi tulis menulis ini dengan perpustakaan terbesar yang pernah ada dalam sejarah Daulah Islam. Keseriusan ini kemudian dilanjutkan dengan kebijakan khalifah Al-Makmun dibantu para filsuf Islam periode awal seperti Al-Kindi, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan Al-Farabi.[3] Para pemikir Islam inilah yang kemudian menjadi pemantik para pemikir selanjutnya seperti Al-Ghazali,[4] Suhrawardi,[5] Mulla Sadra,[6] dan seterusnya.
Sejak itu pula lahir para pemikir-pemikir Islam dengan tradisi tulis-menulisnya.
Dalam konteks Islam Indonesia, yang paling konsisten dalam menjaga warisan tradisi ini hanya kalangan pesantren. Meskipun, bukan berarti selain pesantren tidak ada lembaga pendidikan lain yang melakukan aktivitas tulis-menulis. Tetapi, sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantrenlah yang mampu menjaganya secara utuh. Dalam arti, ruang transformasi ilmu pengetahuan yang dimaksud di atas relatif lebih luas. Misalnya, fenomena seorang santri baru yang harus menghafal nadzam ‘Aqidatul Awam sebagai pelajaran pertama dalam mendalami ilmu tauhid (setingkat SD/MI). Sampai di sini, si santri baru secara tidak langsung sedang belajar (setidaknya) tiga ilmu: nahwu-sharraf, ‘arudh, dan murad-nya.

Aktivitas Menulis dan Karya Tulis
Dalam aktivitas ini, pada dasarnya seorang penulis sedang melakukan aktivitas berfikir. Dimana, tidak akan ada sesuatu yang akan tertuang dalam bentuk karya tulis ketika tidak ada buah pemikiran yang diproduksi sebelum atau ketika menulis. Sementara, dalam waktu yang sama, seorang penulis sedang melakukan sebuah pembacaan tentang produk pemikiran yang akan atau sedang ditulis. Oleh karena itu, menulis adalah akumulasi dari aktivitas berfikir dan membaca.
Produk pemikiran yang dimaksud tergantung pada karya tulis yang akan dibuat. Secara umum, karya tulis dibagi menjadi dua bentuk: fiksi dan non fiksi. Karya-karya yang tergolong sebagai karya tulis fiksi, secara umum disebut dengan karya sastra. Biasanya dikenal dengan istilah prosa, novel, novelet, cerpen, dan puisi. Sementara, karya yang berbentuk non fiksi, secara umum disebut dengan karya tulis ilmiah dan populer, termasuk di dalamnya antara lain seperti karya jurnalistik.
Pada perkembangannya bentuk-bentuk karya tulis ini mengalami proses akulturasi. Sehingga sering kita jumpai sebentuk karya sastra yang bercerita tentang sebuah kehidupan nyata. Begitu juga sebaliknya, ada di antara karya non fiksi yang ditulis dalam gaya sastra. Meskipun demikian, masing-masing masih tetap dalam nilai dan etikanya. Kolom-kolom H. Mahbub Djunaedi,[7] misalnya. Hampir dalam setiap kalimatnya, Mahbub mampu membuat pembaca terpingkal-pingkal dan tanpa sadar sebenarnya si pembaca sedang diajak “keliling dunia”. Serta tidak jarang Mahbub sebenarnya mengajak para pembacanya “menangis” dan “marah” akan sebuah realitas sosial yang timpang.[8] Kesemuanya diramu dalam kolom-kolom yang ditulisnya sejak awal tahun ’70-an.
Contoh lain seperti KH. Saifudin Zuhri.[9] Sebagaimana H. Mahbub Djunaedi, beliau juga dikenal sebagai penulis dengan genre serupa. Karya-karyanya yang non fiksi ditulis hampir menyerupai sebuah cerita fiksi. Pembaca yang tidak tahu konteks karyanya, pasti mengira karyanya tak ubahnya semisal trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Dari bentuk karya cerpen dan puisi, kita bisa menilik karya-karya agung  KH. Mustofa Bisri, Acep Zamzam Noor, dan D. Zawawi Imron. Dengan karya-karyanya, para penulis sepuh tersebut mengajarkan pada kita bagaimana mencari ilmu, mengasahnya, serta mengamalkan ilmu pengetahuan yang sudah diperoleh.
Terlepas dari konteks wacana tersebut, sederet nama-nama penulis besar di atas adalah orang-orang pesantren yang senantiasa menjaga tradisi tulis-menulis. Belum lagi nama-nama besar lain seperti KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Wahid Hasyim, KH. Hasyim Asy’ari, Syaikh Ihsan Jampes, Syaikh Nawawi al-Bantani, dan banyak lagi nama-nama yang tentu tidak kita tahu. Semuanya adalah orang-orang pesantren. Pada prinsipnya, beliau-beliaulah media penyambung ilmu pengetahuan dan pemikiran ke-Islaman yang dapat kita internalisasi sebagai bangunan epistemologis pengetahuan kita hari ini. Adapun keberagaman bentuk karya, genre, bahasa, landasan epistemologi, konteks historis, dan sebagainya, bukan alasan untuk tidak menulis; bahwa dengan menulis kita ada.
Semacam Simpulan
Komunitas Matapena, sebagai komunitas literasi yang konsen di bidang sastra, terutama novel, berusaha untuk menjadi bagian dari semangat untuk menjaga tradisi ini. Upaya ini dilakukan dengan cara mendorong, memediasi, dan mengobarkan semangat kepenulisan terutama di kalangan santri-santri. Berangkat dari konsepsi ushuliah “Al-Muhafadlatu’ala al-Qadiimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-jadiidi al-Ashlah”, lahirlah penulis-penulis muda dari pesantren seperti Mahbub Djamaluddin, Sachree M. Daroini, Zaki Zarung, Isma Kazee Pijer, Sri Laswiji, Khilma Anis, Fina Af’idatusshofa, dan sederet nama lagi yang karya-karyanya telah diterbitkan oleh komunitas Matapena.
Sebagai ikhtitam, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berpesan dalam sebuah esainya. “Jika suatu saat nanti akan lahir  penulis-penulis dari pesantren, hendaknya ia tahu dengan apa yang dia tulis.” (Gus Dur, Menggerakkan Tradisi; Esai-esai Pesantren, Cet. III, Januari 2010).

Rabbana infa’naa bi maa ‘allamtanaa # Rabbi ‘allimnaa alladzi yanfa’unaa
Rabbi faqqihnaa wa faqqih ahlanaa # wa qaraabati lanaa fi diininaa




[1][1] Disampaikan dalam Roadshow Komunitas Matapena Yogyakarta di Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo Grobogan Jawa Tengah, 11 November 2011.
[2] Penulis Novel “MAFIA; Three in One”. Selain aktiv di komunitas Matapena Yogyakarta, sampai kini masih berproses di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sembari menempuh program S1 Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3] Dr. Amroeni Drajat, Suhrawardi; Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta, LKiS, April 2005, Cet. I.
[4] Selain sebagai seorang filsuf, al-Ghazali juga dikenal sebagai pemikir Islam yang memperkenalkan konsep sufisme. Sufisme dikenal pula sebagai aliran pemikiran dalam Islam yang “membantah” konsep pemikiran peripatetisme.
[5] Tokoh filsuf muslim yang mengusung aliran teosofi (iluminisme).
[6] Mulla Sadra, dengan nama lengkap Sadru al-Dien asy-Syirazy, dikenal sebagai pemikir Islam dengan konsep Insan Kamil.
[7] H. Mahbub Djunaedi, kolumnis pertama di Indonesia. Selain menjadi penulis kolom, Mahbub juga menulis novel berjudul “Hari Demi Hari”. Masa remajanya diabdikan sebagai Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan menjabat sebagai Ketua Umum PB PMII selama tiga periode (1960-1968).
[8] Lihat “Kolom Demi Kolom”. Sebuah kumpulan pilihan esai H. Mahbub Djunaidi yang pernah diterbiitkan KOMPAS dan TEMPO antara tahun 1970-1990.
[9] Selain pernah menjabat sebagai salah satu sekretaris PBNU, beliau juga mantan mentri Agama menggantikan KH. Wahid Hasyim. Beliau pula yang pertama kali mendirikan PTAIN-PTAIN di Indonesia. Lihat di KH. Saifudin Zuhri, “Guruku Orang-orang dari Pesantren”, Yogyakarta, LKiS, 2001, Cet. I.

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.