Aku Menulis Maka Aku Ada[1]
Oleh: Muhammad Mahrus[2]
Semacam Abstraksi
Tradisi menulis di dunia Islam sebenarnya sudah dimulai sejak masa
Khulafaur Rasyidun, terutama pada masa khalifah Utsman bin Affan, ra. Dimana
sejarah ditulisnya Al-Qur’an pertama kali dilakukan secara komprehensif. Tradisi
ini kemudian dikembangkan seiring perkembangan pemikiran Islam pada masa Bani
Abasiyah. Dalam hal ini khalifah Abasiyah (Harun al-Rasyid) menunjukkan
keseriusannya dengan memediasi tradisi tulis menulis ini dengan perpustakaan
terbesar yang pernah ada dalam sejarah Daulah Islam. Keseriusan ini kemudian dilanjutkan
dengan kebijakan khalifah Al-Makmun dibantu para filsuf Islam periode awal
seperti Al-Kindi, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan Al-Farabi.[3]
Para pemikir Islam inilah yang kemudian menjadi pemantik para pemikir
selanjutnya seperti Al-Ghazali,[4]
Suhrawardi,[5]
Mulla Sadra,[6]
dan seterusnya.
Sejak itu pula lahir para pemikir-pemikir Islam dengan tradisi
tulis-menulisnya.
Dalam konteks Islam Indonesia, yang paling konsisten dalam menjaga
warisan tradisi ini hanya kalangan pesantren. Meskipun, bukan berarti selain
pesantren tidak ada lembaga pendidikan lain yang melakukan aktivitas
tulis-menulis. Tetapi, sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantrenlah yang
mampu menjaganya secara utuh. Dalam arti, ruang transformasi ilmu pengetahuan
yang dimaksud di atas relatif lebih luas. Misalnya, fenomena seorang santri
baru yang harus menghafal nadzam ‘Aqidatul Awam sebagai pelajaran
pertama dalam mendalami ilmu tauhid (setingkat SD/MI). Sampai di sini, si
santri baru secara tidak langsung sedang belajar (setidaknya) tiga ilmu: nahwu-sharraf,
‘arudh, dan murad-nya.
Aktivitas Menulis dan Karya Tulis
Dalam aktivitas ini, pada dasarnya seorang penulis sedang melakukan
aktivitas berfikir. Dimana, tidak akan ada sesuatu yang akan tertuang dalam
bentuk karya tulis ketika tidak ada buah pemikiran yang diproduksi sebelum atau
ketika menulis. Sementara, dalam waktu yang sama, seorang penulis sedang
melakukan sebuah pembacaan tentang produk pemikiran yang akan atau sedang
ditulis. Oleh karena itu, menulis adalah akumulasi dari aktivitas berfikir dan
membaca.
Produk pemikiran yang dimaksud tergantung pada karya tulis yang
akan dibuat. Secara umum, karya tulis dibagi menjadi dua bentuk: fiksi dan non
fiksi. Karya-karya yang tergolong sebagai karya tulis fiksi, secara umum
disebut dengan karya sastra. Biasanya dikenal dengan istilah prosa, novel,
novelet, cerpen, dan puisi. Sementara, karya yang berbentuk non fiksi, secara
umum disebut dengan karya tulis ilmiah dan populer, termasuk di dalamnya antara
lain seperti karya jurnalistik.
Pada perkembangannya bentuk-bentuk karya tulis ini mengalami proses
akulturasi. Sehingga sering kita jumpai sebentuk karya sastra yang bercerita
tentang sebuah kehidupan nyata. Begitu juga sebaliknya, ada di antara karya non
fiksi yang ditulis dalam gaya sastra. Meskipun demikian, masing-masing masih
tetap dalam nilai dan etikanya. Kolom-kolom H. Mahbub Djunaedi,[7]
misalnya. Hampir dalam setiap kalimatnya, Mahbub mampu membuat pembaca
terpingkal-pingkal dan tanpa sadar sebenarnya si pembaca sedang diajak
“keliling dunia”. Serta tidak jarang Mahbub sebenarnya mengajak para pembacanya
“menangis” dan “marah” akan sebuah realitas sosial yang timpang.[8]
Kesemuanya diramu dalam kolom-kolom yang ditulisnya sejak awal tahun ’70-an.
Contoh lain seperti KH. Saifudin Zuhri.[9]
Sebagaimana H. Mahbub Djunaedi, beliau juga dikenal sebagai penulis dengan
genre serupa. Karya-karyanya yang non fiksi ditulis hampir menyerupai sebuah
cerita fiksi. Pembaca yang tidak tahu konteks karyanya, pasti mengira karyanya
tak ubahnya semisal trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Dari bentuk karya cerpen dan puisi, kita bisa menilik karya-karya agung KH. Mustofa Bisri, Acep Zamzam Noor, dan D.
Zawawi Imron. Dengan karya-karyanya, para penulis sepuh tersebut mengajarkan
pada kita bagaimana mencari ilmu, mengasahnya, serta mengamalkan ilmu
pengetahuan yang sudah diperoleh.
Terlepas dari konteks wacana tersebut, sederet nama-nama penulis
besar di atas adalah orang-orang pesantren yang senantiasa menjaga tradisi tulis-menulis.
Belum lagi nama-nama besar lain seperti KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH.
Wahid Hasyim, KH. Hasyim Asy’ari, Syaikh Ihsan Jampes, Syaikh Nawawi
al-Bantani, dan banyak lagi nama-nama yang tentu tidak kita tahu. Semuanya
adalah orang-orang pesantren. Pada prinsipnya, beliau-beliaulah media
penyambung ilmu pengetahuan dan pemikiran ke-Islaman yang dapat kita
internalisasi sebagai bangunan epistemologis pengetahuan kita hari ini. Adapun
keberagaman bentuk karya, genre, bahasa, landasan epistemologi, konteks
historis, dan sebagainya, bukan alasan untuk tidak menulis; bahwa dengan
menulis kita ada.
Semacam Simpulan
Komunitas Matapena, sebagai komunitas literasi yang konsen di
bidang sastra, terutama novel, berusaha untuk menjadi bagian dari semangat
untuk menjaga tradisi ini. Upaya ini dilakukan dengan cara mendorong,
memediasi, dan mengobarkan semangat kepenulisan terutama di kalangan
santri-santri. Berangkat dari konsepsi ushuliah “Al-Muhafadlatu’ala
al-Qadiimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-jadiidi al-Ashlah”, lahirlah
penulis-penulis muda dari pesantren seperti Mahbub Djamaluddin, Sachree M.
Daroini, Zaki Zarung, Isma Kazee Pijer, Sri Laswiji, Khilma Anis, Fina
Af’idatusshofa, dan sederet nama lagi yang karya-karyanya telah diterbitkan
oleh komunitas Matapena.
Sebagai ikhtitam, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah
berpesan dalam sebuah esainya. “Jika suatu saat nanti akan lahir penulis-penulis dari pesantren, hendaknya ia
tahu dengan apa yang dia tulis.” (Gus Dur, Menggerakkan Tradisi; Esai-esai
Pesantren, Cet. III, Januari 2010).
Rabbana infa’naa bi maa ‘allamtanaa # Rabbi ‘allimnaa alladzi
yanfa’unaa
Rabbi faqqihnaa wa faqqih ahlanaa # wa qaraabati lanaa fi diininaa
[1][1]
Disampaikan dalam Roadshow Komunitas Matapena Yogyakarta di Pondok Pesantren
Sirojuth Tholibin, Brabo Grobogan Jawa Tengah, 11 November 2011.
[2]
Penulis Novel “MAFIA; Three in One”. Selain aktiv di komunitas Matapena
Yogyakarta, sampai kini masih berproses di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) sembari menempuh program S1 Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin,
Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3]
Dr. Amroeni Drajat, Suhrawardi; Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta,
LKiS, April 2005, Cet. I.
[4]
Selain sebagai seorang filsuf, al-Ghazali juga dikenal sebagai pemikir Islam
yang memperkenalkan konsep sufisme. Sufisme dikenal pula sebagai aliran
pemikiran dalam Islam yang “membantah” konsep pemikiran peripatetisme.
[5]
Tokoh filsuf muslim yang mengusung aliran teosofi (iluminisme).
[6]
Mulla Sadra, dengan nama lengkap Sadru al-Dien asy-Syirazy, dikenal sebagai
pemikir Islam dengan konsep Insan Kamil.
[7] H.
Mahbub Djunaedi, kolumnis pertama di Indonesia. Selain menjadi penulis kolom,
Mahbub juga menulis novel berjudul “Hari Demi Hari”. Masa remajanya diabdikan
sebagai Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan menjabat sebagai Ketua
Umum PB PMII selama tiga periode (1960-1968).
[8]
Lihat “Kolom Demi Kolom”. Sebuah kumpulan pilihan esai H. Mahbub
Djunaidi yang pernah diterbiitkan KOMPAS dan TEMPO antara tahun 1970-1990.
[9] Selain pernah menjabat sebagai salah satu sekretaris PBNU, beliau juga
mantan mentri Agama menggantikan KH. Wahid Hasyim. Beliau pula yang pertama
kali mendirikan PTAIN-PTAIN di Indonesia. Lihat di KH. Saifudin Zuhri, “Guruku
Orang-orang dari Pesantren”, Yogyakarta, LKiS, 2001, Cet. I.
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.