21.11.15

INDONESIA DALAM PIGURA

INDONESIA DALAM PIGURA
Oleh: Muhammad Mahrus*

Gagasan untuk membangun bangsa Indonesia menjadi lebih baik acapkali diwarnai dengan perdebatan dan pertentangan serius antar kelompok dan golongan. Masing-masing mengunggulkan kelompoknya dan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Hingga tidak jarang gerakan-gerakan tersebut memicu pertumpahan darah dan air mata. Uniknya, dalam diskursus akademik dan kaca mata media, pakta tersebut justru menjadi hal yang seksi.
Secara umum, kita akan mendapati konsep-konsep dan gagasan lama. Sehingga kecil kemungkinan lahirnya gagasan-gagasan yang benar-benar baru dan utuh sebagaimana gagasan-gagasan lama itu lahir. Meminjam tipologi di dalam buku ini—baik dari golongan nasionalis, agama (Islam), dan komunis—ketiganya cenderung mengidealkan konsep-konsep kenegaraan (lama) dimana konsep itu pernah menjadi ideologi-ideologi besar di dunia.

Sayangnya, ketiganya bukan lahir dari rahim akar pemikiran dan tradisi bangsa kita sendiri.
Pada saat yang sama, Pancasila—dengan segenap dinamikanya—hadir sebagai jawaban atas ijtihad ideologi bangsa yang orisinil dan ditahbiskan sebagai ideologi Negara semenjak dideklarasikannya Republik Indonesia. Barangkali, akibat kesan yang dialami bangsa kita selama masa penjajahan yang teramat membekas sehingga kita lupa pada akar tradisi dan epistemologi pengetahuan bangsa kita sendiri. Dimana kita pernah menjadi tumpuan dan harapan dari bangsa-bangsa besar yang runtuh akibat proyek modernitas. Sepakat atau tidak, sebagian alasan Islam sampai di Nusantara adalah karena Nusantara masih menjadi wilayah yang aman untuk berlindung. Sementara di wilayah kelahirannya sendiri, Islam sedang dihadapkan dengan pergulatan politik di kalangan penguasanya setelah selama 8 abad mewarnai percaturan ideologi-ideologi dunia. Kesadaran ini juga disikapi oleh Negara-negara maju yang berhasil menunggangi modernitas ketika itu. Tentu saja dalam bentuk yang lain; imperialisme.
Seperti halnya Islam, komunisme sempat mencicipi era kejayaan di belahan Eropa dan Asia. Meskipun di tanah kelahirannya sendiri, sejarah revolusi Jerman berkata lain. Sebagaimana ungkapan Karl Heinrich Marx (1818-1883), bahwa kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk komunisme (Jonathan H. Turner: 1981). Di Eurasia (Eropa-Asia), ideologi ini justru berkembang di Rusia (dahulu Uni Soviet, 1922-1991). Komunisme secara resmi menjadi satu-satunya partai politik, berjaya pada era kepemimpinan Josef Stalin dan berakhir di era kepemimpinan Mikhail Gorbachev (Bridged O’Laughlin: 1975). Penting untuk dicatat bahwa komunisme di Rusia bahkan tidak berhasil mencapai satu abad. Di daratan Asia Timur komunisme dideklarasikan secara resmi sejak 1949 dengan kepala Negara pertamanya Mao Zedong. Sampai hari ini, dalam kepemimpinan Xi Jinping, Partai Komunis Tiongkok masih mendapatkan suara terbanyak dibanding 8 partai lainnya.
Bisa jadi benar apa yang diungkapkan Ignas Kleden, sebagaimana dikutip dalam buku ini, bahwa bangsa Indonesia menjalankan sejarah tanpa kontinuitas (hal. 10). Mengingat setiap era kepemimpinan dalam pemerintahan kita selalu diwarnai pertentangan-pertentangan sengit. NASAKOM—sebagai tafsir atas Pancasila—runtuh di tangan Orde Baru. Developmentalisme—juga atas nama tafsir Pancasila—lenyap dalam gerakan Reformasi. Kini, reformasi pun kembali dijadikan wacana yang seksi untuk gerakan-gerakan berikutnya. Entah apa istilah berikut terminologinya. Menariknya, tarik menarik kekuatan ini tidak lepas dari ketiga kelompok tua di atas. Jika pun terdapat elaborasi, dapat dipastikan karakter dari ketiganya tetap tidak bisa lepas.
Dalam dinamika tersebut, agaknya kelompok nasionalis selalu mendapatkan dukungan terbanyak. Meskipun tidak sedikit pula telah lahir kelompok-kelompok baru dari kalalangan ini. Begitu juga dengan dua kelompok yang lain. Masing-masing melakukan dialektika dan membuat gerakan-gerakan baru. Dari kelompok Islam misalnya—mulanya hanya Nahdlatul Ulama yang menjadi barometer pertama dan Muhammadiyah di barisan berikutnya—kini bercokolan kelompok-kelompok baru Islam dengan semangat lama bak taoge dalam rendaman. Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui, belum pernah taoge berhasil menjadi bibit tanaman yang menghasilkan biji-biji kacang baru. Taoge adalah sayuran pelengkap makanan kita saja. Jika tidak, ia hanya akan membusuk.
Pada kesempatan yang sama, barangkali sebagian dari kelompok Islam hari ini masih terprovokasi dengan tesis-tesis Huntington dalam Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia (Samuel P. Huntington: 1998). Bahwa, bisa jadi Islam lah yang akan tampil sebagai pemenang dalam percaturan politik global. Mengingat, dari sumber yang sama, model pembangunan politik di Indonesia juga pernah mendapatkan pengaruh yang sangat kuat pada era Orde Baru dari Tatanan Politik dalam Mengubah Masyarakat (Huntington: 1968).
Secara paradigmatik, gerakan politik Islam Indonesia diwarnai dengan tiga corak pemikiran. Pertama, tradisionalisme Islam. Termasuk di dalamnya adalah idealisme Rasyid Ridla dan realisme Kalam Azad. Kedua, modernisme Islam ala rasionalisme Muhammad Abduh dan Sekulerisme Ali Abdul Raziq. Ketiga, fundamentalisme Islam. Paradigma ini muncul antara lain dari pandangan Islam Sayyid Qutb dan Teodemokrasi Abu A’la Al-Maududi. Dalam buku ini, penulis menyuratkannya dengan etimologi paradigma integralistik. Dimana sebuah Negara seharusnya menjadi lembaga politik dan keagamaan sekaligus.
Di lain pihak, membaca gerakan politik Islam modern di Indonesia dapat dilakukan dengan tiga teori aliran. Pertama, organisme ala Ibnu Taymiyah. Dimana kualitas kenegaraan ditamsilkan pada hadits “Al-Mu’min Akhu al-Mu’min”. Kedua, formalisme. Tokoh dan pelopor aliran ini adalah Imam Mawardi dengan merujuk pada karya monumentalnya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah. Dalam aliran ini, Negara harus melakukan pemantapan struktur dan kelembagaannya dengan  konsep Ahlu al-Hāl wa Ahlu al-Aqd. Ketiga, substansialis. Secara sederhana, sebagian besar kelompok Islam di Indonesia mencukupkan substansi dari ajaran-ajaran Islam dalam konstitusi Negara. Bentuk dan menejemen dari aliran ini adalah sentralisme khilafah. Yakni, seorang khalifah atau pemimpin diharuskan memenuhi beberapa syarat dan tingkatan (level) khalifah. Untuk menjadi seorang khalifah, seseorang harus memiliki kemampuan bertindak, kewibawaan, kejujuran, dan keilmuan. Dalam tingkatannya, seorang khalifah harus diangkat (diakui) sebagai Khalifah, sebagai Imam Dharury, atau sebagai Wali bi al-Syawkah. Dalam aliran ini, Soekarno ditahbiskan dalam dua level khalifah sekaligus; Imam dharury dan Wali bi al-Syawkah.
Sebagai penutup, fokus pembahasan utama buku ini lebih pada upaya mendedah relasi antara Agama dan Negara dengan menelaah gagasan NASAKOM Soekarno. Bertolak dari gagasan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, penulis menjelaskan secara detil latar belakang munculnya gagasan tersebut di masa awal pemerintahan Indonesia. Selebihnya, penulis ingin menghadirkan semangat gagasan tersebut di era pasca reformasi. Terlepas dari kelemahan dan kelebihan teori penelitiannya, buku ini adalah upaya menjawab tuduhan Ignas Kleden atas diskontinuitas sejarah politik Indonesia.[]

Yogyakarta, 8 Maret 2015

*Sekretaris Eksekutif Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)
Daerah Istimewa Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.