Pidato
kebudayaan KH. Husein Muhammad:
RINDU SANG
DARWISH PENGEMBARA*
الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِى مَلَاءَ قُلُوبَ
أَوْلِيَآئِهِ بِمَحَبَّتِهِ. وَاخْتصَّ أَرْوَاحَهُمْ بِشُهُودِ عَظَمَتِهِ,
وَهَيَّأَ أَسْرَارَهُمْ لِحَمْلِ أَعْبَآءِ مَعْرِفَتِهِ. فَقُلُوبُهُمْ فِى
رَوْضَاتِ جَنَّاتِ مَعْرِفَتِه يُحْبَرُونَ. وَأَرْوَاحُهُمْ فِى مَلَكُوتِهِ
يَتَنَزَّهُونَ. فَاسْتَخْرَجَتْ أَفْكَاُرهُمْ يَوَاقِيتَ الْعُلُومِ. وَنَطَقَتْ
أَلْسِنَتُهُمْ بِجَوَاهِرِ الْحِكَمِ وَنَتَائِج الْفُهُومِ. فَسُبْحَانَ مَنِ
اصْطَفَاهُمْ لِحَضْرَتِهِ, وَاخْتَصَّهُمْ بِمَحَبَّتِهِ. فَهُمْ بَيْنَ سَالِكٍ
وَمَجْذُوبٍ , وَمُحِبٍّ وَمَحْبُوبٍ. أَفْنَاهُمْ فِى مَحَبَّةِ ذَاتِه. وَصَلَّى
اللهُ عَلىَ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحَابَتِه.
كَيْفَ اَنْتَ تَحْتَ أَطْبَاقِ الثَّرَى يَا شَوْقِى ؟
وَكَيْفَ
أَنْتَ فِى مَرْقَدِكَ يَا حَنِينِى؟
إِذَا غِبْتَ عَنِّى
فَشَمَائِلُكَ مَلَآ رُوحِى .
وَإِذَا نَأَيْتَ
عَنْ بَصَرِى
فَأَنْتَ أَمَامَ
عَيْنِ بَصِيرَتِى.
وَلَئِنْ رَحَلْتَ
فَرُوحُكَ فِى
نَفْسِى مُقِيمٌ "
Duhai
rinduku
Bagaimana
keadaanmu di bawah tumpukan lempung
basah ini?
Bagaimana
engkau di tempat istirahmu, duhai kangenku
Bilamanapun
aku tak lagi bisa memandang wajahmu,
Seluruh
keindahanmu memenuhi ruhku
Bilapun engkau telah jauh dari tatapan
mataku
Aku
melihatmu dengan mata jiwaku
Dan
meski engkau telah pergi jauh
Ruhmu
ada dalam palung jiwaku.
Nama
itu terus saja mengalir bagai air zam-zam di Makkah. Ia menjadi sumber
kehidupan beribu manusia yang tak pernah berhenti, dan yang tak pernah kering, sekaligus
menyegarkan. Nama itu adalah Gus Dur. Dalam buku “Sang Zahid, Mengarungi
Sufisme Gus Dur”, saya sudah menulis : “Gus Dur, adalah nama yang akan dikenang
dan dirindukan berjuta orang, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun tahun dan
untuk rentang waktu yang panjang. Meski ia telah tak lagi bersama kita di sini dan
telah diistirahkan di bawah tanah lempung, ia masih terus saja dikunjungi
banyak orang, setiap hari dan setiap jam, siang maupun malam, entah sampai
kapan. Namanya masih disebut-sebut, diceritakan, didongengkan dan didoakan
dalam gempita
siang maupun
dalam sepi malam. Pesan-pesannya terus direproduksi dalam kata-kata, dalam lukisan, dalam puisi dan dalam
senandung folklore. Dengarkanlah
nyanyian folklore yang indah ini.
Folklore
: Song for Gus Dur
Ku
masih belum begitu percaya
Kau
telah kembali pulang
Tak
bolehkah kau lebih lama
Untuk
kita Ajari kita
Masih
segar di ingatanku
Kau
kikis kerasnya dinding beku
Kau
beri tempat yang terpinggirkan
Kau
beri ruang pada yang terbuang
Jadikan
dirimu perisai kemanusiaan
Oh, Selamat Jalan
Selamat Jalan
Ajari kita bicara
Hidup kita penuh warna
Berbeda itu karunia
Kau wariskan keindahan
Kau ajarkan kedamaian
Bagi kawan atau lawan
Kau berjuang demi bangsa
Beri pesan yang bermakna
Jalani hidup bersama
Janganlah kita berduka
Kita semua pantas bangga
Gus Dur, Sang Pengabdi Kemanusiaan
Terlampau sulit untuk dapat disangkal
bahwa Gus Dur adalah symbol pembaruan
dalam pemikiran dan kehidupan social di dunia muslim, khususnya di Nusantara. Hampir seluruh hidupnya diabdikan bagi
kepentingan ini. Ia hadir dengan pikiran dan gagasan yang mengagumkan, cemerlang,
mencerahkan sekaligus menggoncangkan, dengan caranya sendiri yang unik,
eksklusif, menyusupi ruang-ruang tradisi dan kadang diselimuti misteri.
Sumber-sumber intelektualismenya sangat luas, mendalam dan terbentang lebar. Gus
Dur tidak hanya pandai mengaji kitab suci, sabda Nabi, dan khazanah keilmuan
Islam klasik yang menjadi basis pengetahuan awalnya, tetapi juga menelaah beribu
buku dari dan dalam beragam bahasa. Ia membaca dengan lahap dan menyerap dengan
riang pikiran-pikiran para tokoh dunia, klasik maupun modern, tanpa melihat
asal usul dan keyakinan mereka, hingga piawai dalam pengetahuan social, budaya,
seni, musik, sastra, politik dan agama-agama dunia. Pengetahuan Gus Dur
melampaui sekat-sekat primordialisme.
---
Manusia
dan kemanusiaan adalah focus pikiran dan perhatian utama Gus Dur, siang dan
malam serta
pada setiap nafas yang berhembus. Ia mencintai manusia dengan seluruh pikiran
dan hatinya. Ia seperti tak pernah lelah dan bosan bicara bahwa manusia siapapun
dia wajib dilindungi hak-hak dasarnya. Ia terus mendengungkan gagasan bahwa agama hadir untuk membebaskan manusia dari situasi dunia
yang gelap menuju dunia yang bercahaya. “Li Tukhrij al-Nas min al-Zhulumat
ila al-Nur”. Dunia gelap adalah dunia yang dikepung kebodohan dan
kezaliman, dan dunia bercahaya adalah dunia yang diliputi ilmu pengetahuan dan
keadilan. Ia membaca dengan penuh kekaguman kata-kata Nabi Muhammad bahwa
pekerjaan manusia yang paling utama dan paling disukai Tuhan adalah hadir
bersama manusia, melepaskan penderitaan mereka, menghilangkan rasa lapar dan
haus mereka, membagi kegembiraan di hati mereka, merajutkan tali persaudaraan di
antara mereka, menegakkan keadilan dan menebarkan jaring-jemaring perdamaian dan
cinta. Gus Dur
bekerja keras menerjemahkan gagasan kemanusiaan itu baik melalui
tulisan-tulisannya, ceramah-ceramahnya maupun dan terutama dalam sikap hidupnya
sehari-hari di mana dan kapanpun. Dengan penuh gairah cinta, ia berjalan tanpa
rasa gentar,
menerjang terjang setiap penghalang, untuk mewujudkan impian-impiannya itu.
Kepalanya bagaikan gunung
berapi yang menyimpan magma spiritualitas begitu dahsyat. Magma itu tak pernah
berhenti bergolak. Ia bergerak-gerak begitu aktif, acap meletup-letup, memercik,
menumpahkan lahar panas,
lalu mengaliri tanah-tanah gersang
dan kering-kerontang. Manakala telah dingin, tanah-tanah itu berubah menjadi gembur-subur. Bumi manusia menghijau menyembulkan bunga
warna-warni, indah dan menebarkan wewangian”.
Dalam konsep etika spiritual, pengabdian
kepada kemanusiaan tersebut oleh Mulla Sadra dinyatakan sebagai proses
perjalanan dari makhluk untuk makhluk bersama Sang Maha Benar
(Al-Khaliq/Tuhan) : al-Safar min al-khalq ila al-khalq bi
al-Haq. Ini adalah kebijakan Tuhan yang
tertinggi ; “al-Hikmah al-Muta’aliyah”. Maka, pengabdian manusia kepada kemanusiaan
pada hakikatnya merupakan puncak pengabdian mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Syams Tabrizi, sang Darwisy misterius mengatakan
: “Kita harus belajar mencintai makhluk Allah”. Katanya :
وَمَا لَمْ نَتَعَلَّمْ كَيْفَ نُحِبُّ خَلْقَ
اللهِ فَلَنْ نَسْتَطِيعَ أَنْ نُحِبَّ حَقًّا. وَلَنْ نَعْرِفَ اللهَ حَقًّا
Selama
kita tidak belajar bagaimana mencintai makhluk Allah, kita tidak akan bisa
benar-benar mencintai siapapun,
dan kita tidak akan mengenal Allah dengan sebenar-benarnya”.[2]
Pikiran,
kerja dan sikap Gus Dur disambut dengan penuh kegembiraan dan empati bukan saja
oleh para pengikutnya yang sekeyakinan, melainkan juga mereka yang berada di
luar keyakinan dirinya. Mereka yang disebut akhir ini serentak meneriakkan
dengan riang : “Apa yang dikatakan
dan dijalani Gus Dur, itulah yang difirmankan Yesus, diajarkan Moses,
dituturkan Sang Budha, disabdakan dalam Baghawad Gita, ditulis dalam Tipitaka
dan diceramahkan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Melalui Gus
Dur kata-kata Yesus, Moses,
Budha Gautama, Gita dan Hazrat Mirza, menjadi hidup kembali”.
Gus
Dur Sang Darwisy Pengembara
Maulana
Jalal al-Din Rumi, sang sufi penyair
terbesar,
menyebut gurunya : “sang mentari dari Tabriz”. Dan saya menyebut
Gus Dur sebagai sang mentari
dari
Nusantara. Matahari dari Tabriz itu dikenal sebagai darwisy pengembara. Dan Gus Dur adalah juga sang
darwisy pengembara itu. Sebagaimana umumnya pengembara, ia sering menjadi
subyek yang aneh, asing, dicurigai atau bahkan dimusuhi oleh mereka yang tak
mengerti, tak paham, dan tak
tercerahkan. Manakala sang pengembara memasuki suatu perkampungan atau perkotaan,
ia akan dianggap si “nyleneh”, "nyentrik” atau bahkan “bahul”, “bahlul”
atau “majnun”, oleh orang-orang di kampung dan di kota itu, bukan hanya karena celotehnya
yang tak jelas dan tak mudah dimengerti tetapi juga karena pikiran-pikiran dan
sikap-sikapnya yang tak lazim. Dan terhadap semua itu, Gus Dur tetap saja diam.
Ia mengerti bahwa mengubah tradisi dan kebiasaan memang tak mudah dan itu
memerlukan kesantunan.
Para darwisy pengembara adalah para pencinta manusia. Bagi mereka tubuh-tubuh
manusia adalah suci, karena di dalamnya berdiam sifat-sifat keilahian. Manusia
dalam pandangan para darwisy
adalah tempat Tuhan merindukan Diri-Nya Sendiri. Manusia adalah pancaran Cahaya
dan Cinta-Nya.
Di dalam tubuh kasarnya
tersimpan magma spiritualitas Ilahiyah yang sanggup menggenggam dunia atau melepaskannya. Dengan demikian kehormatan manusia harus
dijaga.
Sa’di
Syirazi, sufi-penyair besar
dari Persia, meniupkan terompet kemanusiaan itu dalam puisinya yang indah :
أَىْ
/ بَنُوا آدَمَ جِسْمٌ وَاحِدٌ اِلَى
عُنْصُرٍ واحِدٍ عَائِدُ
إِذَا
مَسَّ عُضْواً أَلِيمُ السَّقَامِ
فسَائِرُ أَعْضَآءِهِ لاَ تَنَامُ
إِذَا
أَنْتَ لِلنَّاسِ لَمْ تَأَلَّمْ
فَكَيْفَ تَسَمَّيْتَ بِالْآدَمِى
O, Ya
Anak-anak Adam adalah satu
Kepada
keasalan yang Satu ia (datang)
dan kembali
Bila
lara menyentuh satu tubuh
Tubuh-tubuh
yang lain bergetar, terjaga-jaga
Bila
kau tak merasa lara
Bagaimana
mungkin menyebut diri anak Adam
Di
bawah pandangan ruh kemanusiaan (al-Ruh al-Insaniyyah) itu Sa’di menatap para
bijakbestari (al-Arifin), sambil
mengatakan :
أَنَّ الْعَارِفَ
اَوْ الصُّوفِى هُوَ الَّذِى يَخْدُمُ النَّاسَ, لاَ الَّذِى يَخْتَار الْعُزْلَةَ
وَالْاِعْتِكَافَ. وَاَنَّهُ لَا بُدَّ لَهُ اَنْ يَتَزَوَّدَ بِالْعِلْمِ.
وَيَطْلُبُ مِنْ كُلِّ النَّاسِ حَتَّى الْحُكَّامِ اَنْ يَتَخَلَّقُوا
بِأَخْلاَقِ الدَّرْوِيشِ.
“Seorang bijakbestari adalah dia
yang mengabdi kepada dunia manusia, bukan yang memilih menepi dalam sepi dan berdiam
diri di atas sajadah. Untuk pengabdian itu dia harus berbekal ilmu pengetahuan.
Dia meminta semua manusia dan para pejabat negara, agar mengenakan etika
Darwisy.[3] Katanya
lagi :
لَيْسَتِ الْعِبَادَةُ سِوَى خِدْمَةِ
النَّاسِ لَيْسَتْ بِالتَّسْبِيحِ وَالسَّجَادَةِ
وَارْتِدَآءِ الدَّلِق[4]
أَبْقَ أَنْتَ عَلَى عَرْشِ
سُلْطَانَتِكَ بِأَخْلَاقٍ طاهِرَةٍ
وَكُنْ دَرْوِيشاً
Pengabdian
kepada Tuhan
Adalah
pelayanan kepada manusia
Bukan hanya dan semata memutar biji tasbih
Menggelar
sajadah dan menyandang kain
sorban
Duduklah
kau di atas singgasana kekuasaan
Dengan
etika yang bersih
---
Kaum
pengembara (Ghuraba) akan selalu hadir pada setiap situasi sejarah
social yang sarat konflik, menjelang runtuh atau ketika jalan sejarah tak lagi
lurus. Mereka hadir untuk mendakwahkan,
mengajak dan menawarkan kepada masyarakat manusia untuk kembali ke ide keasalan
dan janji primordial manusia, saat mereka belum mewujud di bumi. Tuhan mengatakan: “Alastu
bi Rabbikum?. Qalu Bala” (Bukankah Aku Tuhan kalian.” Mereka menjawab : “Ya,
Engkau Tuhan kami. Engkaulah Satu-satunya yang Eksis. Para pengembara memproklamirkan
kembali doktrin Tauhid itu, seraya menyerukan agar manusia kembali kepada Dia,
kepada Siapa seluruh yang mewujud di jagat raya, harus menyerah, bersimpuh,
luruh dan menundukkan diri sepenuhnya dan seluruhnya. Mereka juga menjajakan
tentang kehanifan (kejujuran, ketulusan dan jalan lurus). Di atas landasan itu,
mereka, tampil gagah bagai kesatria untuk memberangus praktik-praktik kekuasan
yang despotik, tiranik dan membodohi rakyat jelata yang selalu direndahkan,
dipinggirkan dan dikucilkan. Pada saat yang sama mereka hadir untuk menancapkan
kembali pilar-pilar kemanusiaan yang terkikis, hilang atau diberangus oleh
otoritas-otoritas social, politik dan keagamaan yang bekerja demi kepentingan
dan kekuasaan diri, keluarga, kelompok atau golongannya. Ide-ide kemanusiaan
yang ditawarkan para darwisy itu
tak pelak mengguncang dan merontokkan setiap otoritas politik, kebudayaan dan
keagamaan tersebut. Para pemegang otoritas itu lalu menggunakan tangan
kekuasaannya untuk menggerakkan massa awam guna melawan sang darwisy pengembara
itu. Mereka bukan tak mengakui kehebatan, kebenaran, kejujuran dan
kecemerlangan pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan cerdas sang darwisy pengembara
itu, melainkan karena semata-mata cemburu buta kepadanya atau takut terhempas
dan “melarat”.
Di
jalan cinta, seratus bahaya terbentang
Di
taman rindang berbunga,
Para perindu, tak punya jalan menghindar
dari
badai dan semak ilalang.
Sang pengembarapun menerjang
Bilapun ia dipaksa pergi
Ia akan tetap berdiri tegar, tanpa gentar
Sambil
berkata : “The death is the gate of Life”
Para pengembara seperti itu, dalam perjalanan sejarahnya kemudian, menjadi para
kekasih dan sahabat Tuhan. Al-Syeikh al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi, sang maestro
dalam sufisme, menyebut :
“para pengembara akan selalu hadir pada setiap zaman sampai
dunia berakhir, berantakan dan hancur lebur. Tak boleh ada zaman kosong tanpa
sang pengembara, sang wali, sang kekasih, sang sahabat. Ini karena mereka adalah para penerus dan
pewaris risalah kenabian. Mereka adalah para penjaga bumi dan dunia
kemanusiaan. Bila mereka tak hadir, maka dunia akan kacau balau, porakporanda”. Al-Hujwiri mengatakan :
جَعَلَهُمُ اللهُ أَوْلِيآءَ الْعَالَمِ حَتَّى
اَنَّ الْاَمْطَارَ تَمْطُرُ مِنَ السَّمَآءِ بِبَرَكَتِهِمْ وَيَنْبُتُ
النَّبَاتَ مِنَ الْاَرْضِ بِصَفَآءِ اَحْوَالِهِمْ وَيَنْتصِرُ الْمُسْلِمُونَ
عَلَى الْكُفَّارِ بِهِمَّتِهِمْ .وَلَولَا الْاَوْلِيَآءُ لَفَسَدَ نِظَامُ الْعَالَمِ
وَانْهَارَ كَمَا تَنْهَارُ الدَّوْلَةُ بِدُونِ مُوَظَّفِين وَحُرَّاسٍ وَجُنُودٍ
“Allah menjadikan mereka para sahabat dunia,
sehingga, berkah kehadiran mereka, hujan akan turun dari langit (lalu
menyuburkan tanah-tanah yang gersang) dan menumbuhkan pepohonan dari tanah subur.
Berkat cita-cita mereka,
orang-orang yang menyerahkan diri kepada keputusan Tuhan (al-Muslimun)
akan mengalahkan musuh-musuh mereka yang ingkar kepada kebenaran (al-Kuffar).
Andaikata mereka tak hadir, system dunia
akan luluh-lantak, dan menjadi chaos bagaikan Negara tanpa pemerintah, tanpa
polisi dan tanpa tentera.”[6]
Gus Dur
adalah darwisy pengembara di belantara raya bumi manusia. Ia seperti tak pernah
lelah berjalan, mengelana ke mana-mana, ke negeri antah berantah, menuruni
lembah-lembah, mengarungi gurun pasir yang kering kerontang dan gersang,
mendaki gunung-gemunung yang terjal dan meliuk-liuk, menapaki jalan setapak
yang lengang, atau menerobos rimbaraya yang penuh ilalang dan onak-duri, meski ia
harus sendirian karena yang lain tak lagi peduli. Di sana ia melihat
keindahan-keindahan semesta, ciptaan Tuhan.
---
Gus
Dur adalah seorang pengembara untuk dunia hari ini, paling tidak di sini, di
negeri ini. Dia telah meninggalkan jejak di mana-mana, bukan hanya di sini, Jombang,
tanah dan tempat ia dilahirkan, tetapi juga di bumi Nusantara dan berbagai negeri
yang jauh, dengan langkah yang begitu mengesankan ; menelusup ke jantung rakyat
jelata dan merenggut hati mereka diam-diam. Dan Gus Dur telah menitipkan
pikiran-pikiran dan hati nuraninya kepada sahabat-sahabat yang ditinggalkannya : “Gusdurian”. Meski sebagian
orang menyebut pikiran-pikiran itu “menyimpang”, atau “sesat”, tetapi
sesungguhnya, ia adalah pikiran-pikiran para bijak bestari, para kekasih Tuhan,
para zahid dan mereka dianugerahi
kearifan-kearifan perennial (al-Hikam al-Ilahiyyah).
“Para
bijakbestari adalah manusia-manusia pilihan Tuhan, karena mereka telah
mengerahkan seluruh hidupnya untuk memeroleh keutamaan-keutamaan jiwa dan
pikiran-pikiran manusia. Mereka membagi kebaikan perennial itu dengan suka rela. Mereka adalah lampu-lampu
dunia dan orang-rang yang meletakkan dasar-dasar etika kemanusiaan. Andaikata
mereka tidak hadir, dunia manusia berada dalam kegelapan dan kehancuran”.
انَّ الْغُرَبَآءَ
هُمْ أَهْلُ الْاِسْتِقَامَةِ. هُمُ الَّذِينَ يُصْلِحُونَ الدُّنْيَا عِنْدَ
فَسَادِ النَّاسِ, وإذَا الْتَبَسَتِ الْاُمُورُ. هُمْ أَهْلُ الْخَيْرِ الَّذِينَ
ثَبَتُوا عَلَى الْحَقِّ وَاسْتَقَامُوا عَلَى دِينِ اللهِ وَوَحَّدُوا اللهَ
وَأَخْلَصُوا لَهُ الْعِبَادَةَ. هَؤُلاَءِ هُمُ الْغُرَبَآءُ. فَطُوبَى
لِلْغُرَبَآءِ
Orang-orang
asing itu,
adalah
mereka yang selalu teguh
(pada
prinsip-prinsip kemanusiaan)
Orang-orang yang memperbaiki kehidupan social
Ketika
telah rusak dan retak
Dan ketika
segalanya jadi berantakan
Mereka
adalah orang-orang yang bekerja dengan hati bersih
Yang tetap
berjalan di atas kebenaran
Yang
teguh pada keyakinan yang benar
Yang
Meng-Esa-kan Tuhan
Yang
tulus mengabdi kepada-Nya
Mereka
itulah orang-orang asing
Dan berbahagialah
duhai para Darwisy Pengembara
---
فَالزَّمَانُ قَدْ خَلَا عَنْ أمْثَالِ هَؤُلاَءِ
الْفُضَلاَءِ. وصَارَ الْخلْقُ كُلُّهُمْ – الا ما شآء الله – مَغْمُورِيْنَ
بِالْجَهَالَةِ/الْجُهَّالِ. فإِنْ كُنْتَ مِنَ الطَّالِبِينَ الْمُجِدِّينَ
وَأَهْلِ الْعَقْلِ الْمُهْتَدِينَ فَعَلَيْكَ بِاتِّبَاعِ أَثَرِهِمْ وَالْفَحْصِ
عَنْ حَقِيقَةِ خَبَرِهِمْ. فَمِثْلُهُمْ بَيْنَ عَيْنَيْكَ.
“Zaman, telah sepi dari kehadiran
para bijakbestari, tokoh besar kemanusiaan. Umat manusia berjalan tanpa lilin,
tanpa cahaya dan diliputi ketidakmengertian/orang-orang yang tak mengerti. Bila
engkau seorang pencari jalan Tuhan dan pemikir yang terbimbing seyogyanya menapaki
jalan hidup mereka dan mencari-cari dengan serius kabar. Yang seperti mereka
itu ada di diantara kedua matamu”.[7]
Hari
ini bumi Nusantara membutuhkan seribu Gus Dur. Yakni orang-orang yang mengabdi kepada
dunia kemanusiaan dengan
tulus, jujur, asketik dan rela menanggung luka. Yang kepala dan dada mereka
terbentang lebar bagi segala pengetahuan dan kebijaksanaan. Yang menghimpun di
dalam dirinya kepekaan nurani dan keberanian seorang ksatria. Yang membagi cahaya ilmu,
keadilan dan cinta. Yang memberikan kebaikan karena kebaikan itu sendiri, bukan
karena selain itu. Para bijakbestari berpesan :
فَعَلَيْكَ
اَنْ تُعَوِّدَ نَفْسَكَ عَلَى عَمَلِ الْخَيْرِ لِاَنَّهُ خَيْرٌ, لَا تُرِيدُ
بِفِعْلِكَ عِوَضاً وَلَا يَحْمِلُكَ عَلَى فِعْلِهِ خَوْفٌ فَمَتَى فَعَلْتَ
لِطَلَبِ الْمُكَافَأَةِ لمَ يَكُنْ عَمَلُكَ خَيراً.
“Biasakan
dirimu melakukan sesuatu yang baik semata-mata karena ia baik, bukan karena
berhasrat imbalan dan tidak pula karena rasa takut. Manakala engkau
melakukannya karena berhasrat imbalan, maka pekerjaanmu itu bukankan kebaikan”.
Kita
membutuhkan biji-biji unggul dan bersih,sekarang dan segera, untuk mewujudkan
harapan-harapan kita di masa depan.
Kita
harus mendukung dengan apresiasi penuh dan aktif,setiap inisiatif dan gerakan untuk keragaman
eksistensi,
budaya dan agama.
Demikianlah.
Saya akan mengakhiri “Pidato Kebudayaan” ini dengan sebuah puisi :
Aku
telah menulis seribu kata untuk dia
Menggubah
dua puluh tujuh puisi
Namun,
duuh, selalu saja tak cukup
Hingga
aku harus berkata seperti Socrates
Semua
yang aku tahu
Sesungguhnya
aku tidak tahu
خَيَالُكَ فِى عَيْنِى **
وَذِكْرُكَ فِى فَمِى ** وَهَوَاكَ فِى
فُؤَادِى ** فَأَنْتَ اَنَا فِى كُلِّ حَالِ
Bayang-bayangmu
ada di mataku
Namamu
ada dibibirku
Cintamu
ada di hatiku
Maka
kau adalah aku dalam segala
Cirebon,
30 Juli 2015
Husein
Muhammad
*Disampaikan
dalam Acara “Gus Dur, Wajah Semua Kerinduan”
Masjid
Ulul Albab, Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur,
02
Agustus 2015
[2] Baca : Elie Shafak, Qawa’id al-‘Isyq
al-Arba’un : Qa’idah ke 15.Tuwa Media Publishing, London, Cet. I, 2012.
[3] Muhammad Ali Adzrsyib, Nahj
al-‘Asyiqin, Waqfah ‘Ind al-Syirazain :Sa’di wa Hafizh, Muassasah al-Huda,
Iran, hlm. 71.
[5]
ibid
[6]
Lihat,
Muhammad Abid al-Jabiri, Naqd al-‘Aql al-‘Arabi; Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi,
Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyyah, Beirut, Libanon, cet. V, 1996, hlm.
364).
[7]
Syeikh
Syahrazuri, Nuzhah al-Arwah wa Raudhah al-Afrah fi Tarikh al-Hukama wa
al-Falasifah, Mathba’ah Dairah al-Ma’arif al-‘Utsmaniyah al-Hindiyah,
India, Cet. I, 1976, hlm. 3
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.