Jogja, 02 Desember
Baik, inilah suratku yang pertama untukmu. Surat yang takkan kukirimkan karena kau telah mengetahuinya. Karena ini adalah suratmu juga untukku, yang tak pernah kau kirimkan padaku. Itu keyakinanku. Sampai pada saat surat ini kubuat, serasa masih tidak bisa percaya bahwa pada pergantian bulan ini kita benar-benar bertemu. Ihwal keinginan untuk menemuimu senyatanya tak pernah lekang. Namun waktu harus benar-benar sepakat dan tepat.
Ketahuilah, bahwa kopi buatanmu itu sungguh nikmat. Sejujurnya aku bisa sangat ketagihan dengan kopi buatanmu. Meski malam itu kau segera membela diri, "aku tak pernah bikin kopi..." Aih... betapa pandai dirimu sembunyi. Tapi telah kutemukan dirimu dalam setiap permenungan. Di dirimu kudapati kesederhanaan. Di dirimu kudapati hidup. Di dirimu hidup menjadi sederhana.
Banyak hal sebenarnya yang hendak kubicarakan denganmu, juga dengan Bapak. Tapi Tuhan berkehendak lain. Kita mesti pindah ke suatu tempat sehingga surat ini menjadi seperti ini. Malam itu Bapak memantabkan hatiku untuk mengantar kalian ke ruang yang lebih terbuka. Tapi aku sadar bahwa bapak sedang mengujiku atasmu. Aku berusaha tetap tahu diri. Tahu batasan-batasan yang tak terlihat itu. Semoga saja aku tak melampauinya. Sejujurnya aku cukup senang dengan suasana malam itu. Dimana ada ruang yang sedikit banyak mengaburkan sekat-sekat perbedaan; ruang kebudayaan yang hidup. Ruang dimana dirimu cukup menikmatinya. Dan aku cukup ingat dengan pesan Bapak tentang tanggung jawab atasmu.
Mungkin, seharusnya aku menginap di sana malam itu. Agar esok paginya, aku bisa bertanggung jawab atas bemper mobil Pakde yang penyok. Tapi Tuhan melarangku. Entah apa yang direncanakan-Nya karena insiden itu. Bagaimanapun, itu kesalahanku, kelalaianku. Aku begitu gugup malam itu karena duduk sedemikian dekat denganmu. Namun, bukan berarti aku mengaitkan kejadian itu karenamu. Sekali lagi, itu kesalahanku. Dan aku akan segera kembali untuk meminta maaf meski kau bilang berulang-ulang itu tidak perlu. Kapan? aku tidak tau. Aku tidak berjanji karena aku yakin itu adalah takdirku.
Salam rindu untukmu,
Muhammad Mahrus
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.