12.12.13

PMII; ANTARA TANTANGAN DAN HARAPAN



(Telaah atas Studi Historis PMII dan Positivisme August Comte)[1]
Oleh: Muhammad Mahrus[2]

Abstraksi
Dampak dari sebuah perdebatan panjang antara keinginan mahasiswa-mahasiswa NU, organisasi pelajar NU, dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada dekade '50-an berujung lahirnya Organisasi Mahasiswa NU dengan nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada 1960. Sejarah kelahiran PMII ditandai dengan maraknya iklim dependensi organisasi-organisasi mahasiswa terhadap organisasi atau partai politik tertentu. Pada saat yang sama, PMII menjadi gerakan underbow NU di bawah pimpinan Mahbub Djunaidi yang ditunjuk sebagai ketua umum dari 3 orang tim formatur. Dua lainnya adalah A. Cholid Mawardi yang menjabat Ketua I dan Said Budairy sebagai Sekretaris Umum PB PMII yang pertama kali.

Dua belas tahun kemudian PMII membuat sebuah momentum besar yang dikenal dengan deklarasi Murnajati.[3] Deklarasi ini ditetapkan pada sebuah musyawarah besar PB PMII tertanggal 14-16 Juli 1972, di Malang. Dekalrasi ini merupakan sebuah bentuk sikap secara resmi dari PB PMII untuk menyatakan independensi PMII dari NU. Perumusan sikap ini kemudian didokumentasikan dalam sebuah pernyataan yang dikenal dengan Manifesto Independen PMII.[4] Kemudian pada rapat pleno PB PMII IV membuat sebuah penegasan atas pernyataan independensi PMII dari NU.[5] Selanjutnya, PMII membuat sebuah pernyataan interdependensi sebagai bentuk sikap pada NU.
Pasca sejarah kronologis singkat itu, praktis tidak ada dokumen-dokumen sejarah atau studi literatur yang dapat diakses untuk menceritakan ulang sejarah perjalanan PMII secara resmi. Jika pun ada, kaprahnya hanya bisa dijumpai secara parsial lewat karya-karya alumni dan sejarah lisan. Pernah sesekali disebut-sebut satu dokumen sejarah PMII tersebut telah ditulis oleh seorang alumni PMII Malang. Sayangnya, penulis sendiri belum berhasil mengakses dokumen tersebut.
Bertolak dari sejarah buram (bukan suram!) perjalanan PMII di atas, penulis akan membacanya dengan sebuah teori sosial August Comte.[6] Sebagai seorang pemikir positivistik,[7] Comte merumuskan Hukum Tiga Stadia sebagai jawaban atas pergulatan gejala-gejala sosial.

Positivisme August Comte
August Comte, pemikir sosial asal Perancis ini berpandangan bahwa pengetahuan manusia tentang kebenaran harus dibatasi dengan hal-hal yang diperoleh dengan menggunakan metode-metode standar ilmu pengetahuan (science, sain) itu sendiri. Sementara, sesuatu yang patut untuk dibenarkan hanyalah sebuah fakta dimana seseorang memiliki kesempatan yang sama untuk menilainya.[8]
Ditandai dengan ketegangannya dengan Simon ketika ketertarikannya terhadap positivisme, Comte memulai babak baru dalam membidani kelahiran filsafat positivisme. Ketertarikannya pada masalah-masalah sosial serta gairahnya untuk mengungkap teori baru dan menyelesaikan problematika masyarakat, mendorong Comte untuk memberikan kerangka pemikiran baru. positivisme adalah jawaban, menurut August Comte, atas teori-teori lama dalam menyingkap hajat hidup manusia sebagai makhluk individu dan sosial.
Berlandaskan pengetahuan yang sah, positivisme mendobrak teologi dan metafisika sebagai permainan kata yang abstrak dan spekulatif semata. Dalam hal ini Comte menggambarkan kebutuhan perubahan siklus pengetahuan ini sebagai sebentuk periodeisasi fase kebenaran pengetahuan. Sebagaimana pola-pola yang digunakan oleh para pemikir lain di Perancis pada waktu itu, agitasinya soal positivisme sebagai sebuah babak baru dalam ilmu pengetahuan antara lain seperti Turgot, Quesnay, Condorcet, dan Robertson yang berpandangan adanya multi tahap mengenai perkembangan ekonomi dalam sejarah manusia. Artinya, pola-pola demikian di satu sisi memang sedang popular.
Bahkan, dari beberapa sumber menyebutnya seperti tahap-tahap kehidupan intelektualnya sandiri yang setidaknya terbagi menjadi tiga fase. Pertama, masa ketika dia masih hidup bersahabat dengan Simon. Ketika itu, ia baru saja membangun pengetahuannya tentang sistem politik dalam bentuk penggantian posisi para pendeta oleh kaum intelektual dan militer beralih posisi ke industri. Kedua, masa pemulihan mental setelah ia mengalami masa-masa sulit, ditandai dengan kelahiran jilid-jilid buku tentang positivisme selama kurun waktu kurang lebih 12 tahun (1830-1842). Dan ketiga, ketika dia mulai menyusun buku A System of positife Polity hingga pemikiran monumentalnya tentang Sosiologi itu dipopulerkan oleh Emile Durkheim dengan mengajarkannnya di bangku akademik.[9]
Epistemologi filsafat positivistik yang diusung August Comte dilandaskan pada tiga standar asumsi pengetahuan positiv. Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai). Situasi ini mununtut seorang ilmuwan untuk membuang kepentingan pribadi dan sisi emosionalnya ketika melakukan riset dan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti. Pelibatan emosi atau kepentingan ketika melakukan observasi akan membuahkan hasil yang subyektif. Jika demikian, menurut Comte, posisi ilmu pengetahuan tak ubahnya seperti manusia dalam melihat gejala-gejala alam yang mengembalikan kebenarannya secara teologis dan metafisis. Artinya, capaian kebenaran positiv menjadi kosong.
Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang-ulang. Sementara, setiap gejala-gejala peristiwa, pada dasarnya terjadi secara berulang-ulang. Persoalan konteks ruang dan waktu, itu justru memperkuat indikasi keberlangsungan serta keberulangan peristiwa yang akan dianalisis secara ilmiah. Ketiga, ilmu pengetahuan menitikberatkan fokus analisisnya terhadap perstiwa-peristiwa yang saling terkait (baca: simbiosis mutualisme) relasinya dengan fenomena-fenomena yang lain.
Dengan basis epistemologi kebenaran pengetahuan positiv di atas, August Comte mendasarkan positivisme dengan konsepsi tiga tahapan sejarah intelektual manusia atau yang biasa disebut dengan “Hukum Tiga Stadia” atau “Hukum Tiga Tahap”. Menurut Comte, menghadapi gejala-gejala sosial, seseorang (yang monoteis) cenderung mengembalikan fenomena-femonena itu pada sesuatu yang adikodrati. Dalam arti, sistem pengetahuan dasar manusia rupanya masih terlalu didominasi dengan doktrin-doktrin akan kekuasaan di luar kapasitas dirinya sebagai bagian dari fenomena itu sendiri. Pakta ini mendorong kesimpulan adanya pengebirian kepada dirinya sendiri akan haknya sebagai manusia sehingga dirinya terbiasa menjadi obyek dari fenomena tersebut. Sementara tidak ada upaya untuk membebaskan dirinya sehingga dirinya mampu menjadi subyek atas fenomena yang terjadi. Comte menyebutnya sebagai tahapan teologis.
Berikutknya, sebagai sebuah tahapan, ketika dalam diri manusia mulai ada gairah untuk mencari jawaban atas fenomena-fenomena yang mengaitkan dirinya dalam situasi tersebut. Meskipun pada akhirnya ia hanya mendapatkan jawaban-jawaban yang spekulatif. Comte menyebutnya sebagai tahapan metafisis. Tahapan ini tidak lebih sebagai metamorfosa kecil dari tahapan teologis dalam bentuk transisi semata.
Baru pada tahap terakhir, yakni positivistik. Tahap puncak kemerdekaan seseorang dalam melibatkan dirinya secara penuh dalam sebuah fenomena. Pada tahap ini, manusia tidak lagi menjadi obyek, melainkan subyek dimana seseorang dapat menjelaskan atas segala peristiwa atau gejala-gejala alam yang terjadi. Bahkan, dengan hukum-hukumnya, positivisme dapat menjelaskan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi dengan melihat gejala-gejalanya saja.[10]

Masyarakat Kolektif, Holistik, dan Organis
Bertolak dari teori positivistik yang dikembangkannya itu, August Comte menemukan satu kata kunci untuk mendekonstruksi sejarah manusia dari aspek fenomena-fenomena sosial. Dengan intelektualitas yang diterjemahkan sebagai akal-budi, manusia adalah makhluk yang selalu berevolusi. Dimana mereka hidup dalam sebuah kuasa hukum yang menawarkan keseimbangan antara yang satu dengan yang lainnya. Sekumpulan manusia-manusia itu sama-sama memiliki hasrat hidup yang damai dan sejahtera dengan kepentingan masing-masing yang saling tercukupi satu sama lain.[11]
Dalam rangka menuju masyarakat yang dicita-citakan August Comte seperti di atas, manusia musti melewati tiga tahap yang sudah disusunnya dalam kerangka teori positivistic pada bagian sebelumnya. Seseorang mesti melewati tahapan agama atau teologi yang dianggapnya abstrak dan tahapan metafisika yang spekulatif. Karenanya, hanya ketika sampai pada tahap ketiga, sebuah cita-cita keharmonisan dalam hidup bermasyarakat baru bisa dicapai dalam tahap ilmu pengetahuan yang positif.
Ketika manusia dipandang sebagai suatu badan hidup yang tak mati, ketika setiap individu menjadi bagian organisme demi kepentingan keseluruhan, maka inilah yang disebut dengan holisme dan organisme.[12]
Dalam pembentukan masyarakat yang ideal seperti harapannya, Comte menghimbau adanya percepatan terhadap peralihan setiap fase atau tahapan dalam sejarah manusia. Termasuk dalam konteks rumusan masyarakat dan Negara oleh para pendahulunya seperti konsep Orde-nya Aristoteles (atau bahkan Republik-nya Plato). Dengan ungkapan-ungkapan general (yang telah banyak dikutip), Comte menganggap teori-teori sebelunya sudah usang dan sangat layak untuk ditinggalkan. Saatnya masa positivisme  yang seharusnya digunakan hari ini. Terutama keterlibatan agama (teologi) dalam urusan sosial semacam ini.
Ia tetap bersikeras dengan pendapatnya bahwa jika masyarakat masih saja terkungkung dalam dogma-dogma agama,[13] maka sebuah cita-cita tatanan masyarakat yang kolektif, holistik, dan organis tidak akan terwujud. Tentu saja, konsepsi masyarakat yang demikian itu memiliki kerangka kerja praktis  dengan melibatkan akal-budi manusia secara aktif.
Dengan formula bahwa akal-budi manusia mendorong suatu proses evolusi tahap demi tahap, tergantung pada struktur fenomena yang melatarbelakanginya. Semakin sederhana struktur fenomena atau gejalanya maka akan semakin cepat proses evolusi akal-budi manusia. Sebaliknya, semakin rumit struktur gejala fenomenanya maka akan semakin lambat proses evolusi yang dimaksud. Misalnya dalam studi kasus penyelesaian rumusan matematika, maka akan sangat cepat proses penerimaan akal-budi manusia pada tahap ilmu pengetahuan positife. Karena sampai saat ini, jika perlu, tidak ada satupun struktur fenomena dalam urusan matematika yang melibatkan tahap teologi atau metafisika ke dalamnya.
Tetapi berbeda dengan contoh urusan cuaca. Akal-budi seseorang bisa saja justru berhenti pada tahap teologi tanpa ada inisiatif untuk berevolusi sama sekali. Pada struktur fenomena cuaca semisal mendung yang tebal disertai petir-petir yang saling menyambar, mentok akal-budi seseorang hanya akan berspekulasi antara hujan dan tidak. Jika selalu seperti ini, menurut August Comte, proses menuju sejarah peradaban pemikiran manusia yang baru akan terkendala.
Konsep masyarakat ideal yang ditawarkan Comte tidak tanpa perhitungan atas implikasi-implikasi negatif atas evolusi menuju era positivistik. Secara umum, Comte menawarkan agama baru dengan menuhankan “kemanusiaan” atau “humanitas” untuk dijunjung tinggi dan dihormati sebagai pengganti Tuhan yang Adikodrati dan transenden.

PMII ala Hukum Tiga Stadia August Comte
Sebagai catatan awal, bahwa penulis sendiri tidak hendak memasukkan keseluruhan paradigma positivisme terhadap gagasan-gagasan PMII. Akan tetapi, rupanya pola pergerakan PMII mendapatkan pengaruh dari aliran tersebut. Pun ini adalah sebuah pembacaan awal yang semestinya akan mendapatkan peninjauan kembali. Validitas dan data-data yang bersumber dari referensi yang ada terkait sejarah PMII juga masih terbatas. Di sisi yang lain teori kajian sosial yang tawarkan August Comte terdapat persamaan misi.
Menurut penulis, era stadia pertama PMII adalah masa dimana PMII masih menjadi gerakan underbow NU selama dua belas tahun. Pada masa ini, nuansa teologis begitu amat terasa dalam ruang gerak PMII. Akan tetapi, ketika mulai muncul gagasan agau NU kembali ke khittah 1926, PMII menyatakan independensinya dari NU. Ini adalah era dimana situasi politik semakin memanas sehingga pada tahun 1973, PMII memutuskan independensinya dari NU. Pada tahun yang sama, NU mendikirkan PPP sebagai gerbong politik NU. Dalam kerangka stadia kedua August Comte, PMII mulai berspekulasi secara metafisis untuk ruang geraknnya di kemudian hari.
Pada stadia ketiga, adalah era reformasi yang masih belum tuntas sampai hari ini. Cita-cita pergerakan menuju perbaikan atas gejala-gejala sosial di negeri ini semakin besar. Sementara gempuran dari gejala-gejala sosial tersebut semakin membuncah. Inilah realitas dari kondisi kita hari ini. Seandainya...? []


[1] Disampaikan pada diskusi rutin PMII Rayon Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Rabu, 11 Desember 2013.
[2] Pengurus Cabang PMII DI Yogyakarta. Writer, Trainer, dan Fasislitator di Komunitas Matapena dan sedang belajar film.
[3] Isi Deklarasi Murnajati ini dibuat dan ditetapkan pada Musyawarah Besar ke-2 PB PMII dengan menunjuk 8 orang tim perumus.
1. Umar Basalim (Jakarta)
2. Madjidi Syah (Bandung)
3. Slamet Efendi Yusuf (Yogyakarta)
4. Man Muhammad Iskandar (Bandung)
5. Choirunnisa Yafzham (Medan)
6. Tatik Farichah (Surabaya)
7. Rahman Idrus
8. Muis Kabri (Malang)
[4] Manifesto Independen PMII ditetapkan tertanggal 28 Desember 1973 pada Kongres ke V PMII di Ciloto, Jawa Barat.
[5] Penegasan Cibogo, Rapat Pleno IV PB PMII.
[6] Isidore Auguste Marie Francois Xavier, Comte terlahir dari keluarga Katolik yang taat di kota Montpellier Prancis pada 17 Januari 1798. Sebuah kota di Prancis selatan. Beberapa sumber menyertakan karakter keluarganya dalam kaegori keluarga kelas menengah konservatif. (Lihat: K.J. Veeger, Realitas Sosial, PT. Gramedia (Jakarta: 1985), cet. 1, hal 17.)
[7] “Positiv” dengan “v”, bukan dengan “f”. Dimaksudkan hanya untuk membedakan pemaknaan terhadap paradigma yang diajarkan Auguste Comte dengan kalimat-kalimat “positif” sebagai nilai yang baik semata.
[8] Disadur dari berbagai sumber. Dalam hal ini penulis berusaha untuk proporsional dalam mendeskripsikan masing-masing ciri standart ilmu pengetahuan positive.
[10] Disari dari berbagai sumber di internet dan buku K.J. Veeger, Realitas Sosial, PT. Gramedia (Jakarta: 1985), cet. 1, hal, 20-23.
[11] K.J. Veeger, Realitas Sosial, PT. Gramedia (Jakarta: 1985), cet. 1, hal. 31.

[12] Ibid.
[13] Pada abad ke-18 hingga sebagian awal abad ke-19, rupanya August Comte merasa terkungkung dalam suasana agama (Katolik) yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan. Karenaya kemudian Comte melakukan kritik secara tegas dan mengeneralisir akan kebobrokan agama (di Prancis) pada waktu itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.