(Telaah
atas Studi Historis PMII dan Positivisme August Comte)[1]
Oleh: Muhammad Mahrus[2]
Abstraksi
Dampak dari sebuah perdebatan
panjang antara keinginan mahasiswa-mahasiswa NU, organisasi pelajar NU, dan
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada dekade '50-an berujung lahirnya Organisasi
Mahasiswa NU dengan nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada 1960.
Sejarah kelahiran PMII ditandai dengan maraknya iklim dependensi
organisasi-organisasi mahasiswa terhadap organisasi atau partai politik
tertentu. Pada saat yang sama, PMII menjadi gerakan underbow NU di bawah
pimpinan Mahbub Djunaidi yang ditunjuk sebagai ketua umum dari 3 orang tim
formatur. Dua lainnya adalah A. Cholid Mawardi yang menjabat Ketua I dan Said
Budairy sebagai Sekretaris Umum PB PMII yang pertama kali.
Dua belas tahun kemudian PMII
membuat sebuah momentum besar yang dikenal dengan deklarasi Murnajati.[3]
Deklarasi ini ditetapkan pada sebuah musyawarah besar PB PMII tertanggal 14-16
Juli 1972, di Malang. Dekalrasi ini merupakan sebuah bentuk sikap secara resmi
dari PB PMII untuk menyatakan independensi PMII dari NU. Perumusan sikap ini
kemudian didokumentasikan dalam sebuah pernyataan yang dikenal dengan Manifesto
Independen PMII.[4]
Kemudian pada rapat pleno PB PMII IV membuat sebuah penegasan atas pernyataan
independensi PMII dari NU.[5]
Selanjutnya, PMII membuat sebuah pernyataan interdependensi sebagai bentuk
sikap pada NU.
Pasca sejarah kronologis singkat
itu, praktis tidak ada dokumen-dokumen sejarah atau studi literatur yang dapat
diakses untuk menceritakan ulang sejarah perjalanan PMII secara resmi. Jika pun
ada, kaprahnya hanya bisa dijumpai secara parsial lewat karya-karya alumni dan
sejarah lisan. Pernah sesekali disebut-sebut satu dokumen sejarah PMII tersebut
telah ditulis oleh seorang alumni PMII Malang. Sayangnya, penulis sendiri belum
berhasil mengakses dokumen tersebut.
Bertolak dari sejarah buram
(bukan suram!) perjalanan PMII di atas, penulis akan membacanya dengan sebuah
teori sosial August Comte.[6]
Sebagai seorang pemikir positivistik,[7]
Comte merumuskan Hukum Tiga Stadia sebagai jawaban atas pergulatan
gejala-gejala sosial.
Positivisme
August Comte
August Comte, pemikir sosial asal Perancis
ini berpandangan bahwa pengetahuan manusia tentang kebenaran harus dibatasi
dengan hal-hal yang diperoleh dengan menggunakan metode-metode standar ilmu
pengetahuan (science, sain) itu sendiri. Sementara, sesuatu yang patut
untuk dibenarkan hanyalah sebuah fakta dimana seseorang memiliki kesempatan
yang sama untuk menilainya.[8]
Ditandai dengan ketegangannya dengan Simon
ketika ketertarikannya terhadap positivisme, Comte memulai babak baru dalam
membidani kelahiran filsafat positivisme. Ketertarikannya pada masalah-masalah
sosial serta gairahnya untuk mengungkap teori baru dan menyelesaikan
problematika masyarakat, mendorong Comte untuk memberikan kerangka pemikiran
baru. positivisme adalah jawaban, menurut August Comte, atas teori-teori lama
dalam menyingkap hajat hidup manusia sebagai makhluk individu dan sosial.
Berlandaskan pengetahuan yang sah,
positivisme mendobrak teologi dan metafisika sebagai permainan kata yang
abstrak dan spekulatif semata. Dalam hal ini Comte menggambarkan kebutuhan
perubahan siklus pengetahuan ini sebagai sebentuk periodeisasi fase kebenaran
pengetahuan. Sebagaimana pola-pola yang digunakan oleh para pemikir lain di Perancis
pada waktu itu, agitasinya soal positivisme sebagai sebuah babak baru dalam
ilmu pengetahuan antara lain seperti Turgot, Quesnay, Condorcet, dan Robertson
yang berpandangan adanya multi tahap mengenai perkembangan ekonomi dalam
sejarah manusia. Artinya, pola-pola demikian di satu sisi memang sedang
popular.
Bahkan, dari beberapa sumber menyebutnya
seperti tahap-tahap kehidupan intelektualnya sandiri yang setidaknya terbagi
menjadi tiga fase. Pertama, masa ketika dia masih hidup bersahabat
dengan Simon. Ketika itu, ia baru saja membangun pengetahuannya tentang sistem
politik dalam bentuk penggantian posisi para pendeta oleh kaum intelektual dan
militer beralih posisi ke industri. Kedua, masa pemulihan mental setelah
ia mengalami masa-masa sulit, ditandai dengan kelahiran jilid-jilid buku tentang
positivisme selama kurun waktu kurang lebih 12 tahun (1830-1842). Dan ketiga,
ketika dia mulai menyusun buku A System of positife Polity hingga
pemikiran monumentalnya tentang Sosiologi itu dipopulerkan oleh Emile Durkheim
dengan mengajarkannnya di bangku akademik.[9]
Epistemologi filsafat positivistik yang
diusung August Comte dilandaskan pada tiga standar asumsi pengetahuan positiv. Pertama,
ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai). Situasi ini
mununtut seorang ilmuwan untuk membuang kepentingan pribadi dan sisi emosionalnya
ketika melakukan riset dan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti.
Pelibatan emosi atau kepentingan ketika melakukan observasi akan membuahkan
hasil yang subyektif. Jika demikian, menurut Comte, posisi ilmu pengetahuan tak
ubahnya seperti manusia dalam melihat gejala-gejala alam yang mengembalikan
kebenarannya secara teologis dan metafisis. Artinya, capaian kebenaran positiv
menjadi kosong.
Kedua, ilmu pengetahuan hanya
berurusan dengan hal-hal yang berulang-ulang. Sementara, setiap gejala-gejala
peristiwa, pada dasarnya terjadi secara berulang-ulang. Persoalan konteks ruang
dan waktu, itu justru memperkuat indikasi keberlangsungan serta keberulangan
peristiwa yang akan dianalisis secara ilmiah. Ketiga, ilmu pengetahuan
menitikberatkan fokus analisisnya terhadap perstiwa-peristiwa yang saling
terkait (baca: simbiosis mutualisme) relasinya dengan fenomena-fenomena yang
lain.
Dengan basis epistemologi kebenaran
pengetahuan positiv di atas, August Comte mendasarkan positivisme dengan
konsepsi tiga tahapan sejarah intelektual manusia atau yang biasa disebut
dengan “Hukum Tiga Stadia” atau “Hukum Tiga Tahap”. Menurut Comte, menghadapi
gejala-gejala sosial, seseorang (yang monoteis) cenderung mengembalikan
fenomena-femonena itu pada sesuatu yang adikodrati. Dalam arti, sistem
pengetahuan dasar manusia rupanya masih terlalu didominasi dengan
doktrin-doktrin akan kekuasaan di luar kapasitas dirinya sebagai bagian dari
fenomena itu sendiri. Pakta ini mendorong kesimpulan adanya pengebirian kepada
dirinya sendiri akan haknya sebagai manusia sehingga dirinya terbiasa menjadi
obyek dari fenomena tersebut. Sementara tidak ada upaya untuk membebaskan
dirinya sehingga dirinya mampu menjadi subyek atas fenomena yang terjadi. Comte
menyebutnya sebagai tahapan teologis.
Berikutknya, sebagai sebuah tahapan, ketika
dalam diri manusia mulai ada gairah untuk mencari jawaban atas
fenomena-fenomena yang mengaitkan dirinya dalam situasi tersebut. Meskipun pada
akhirnya ia hanya mendapatkan jawaban-jawaban yang spekulatif. Comte
menyebutnya sebagai tahapan metafisis. Tahapan ini tidak lebih sebagai
metamorfosa kecil dari tahapan teologis dalam bentuk transisi semata.
Baru pada tahap terakhir, yakni
positivistik. Tahap puncak kemerdekaan seseorang dalam melibatkan dirinya secara
penuh dalam sebuah fenomena. Pada tahap ini, manusia tidak lagi menjadi obyek,
melainkan subyek dimana seseorang dapat menjelaskan atas segala peristiwa atau
gejala-gejala alam yang terjadi. Bahkan, dengan hukum-hukumnya, positivisme
dapat menjelaskan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi dengan melihat
gejala-gejalanya saja.[10]
Masyarakat Kolektif, Holistik, dan Organis
Bertolak dari teori positivistik yang
dikembangkannya itu, August Comte menemukan satu kata kunci untuk
mendekonstruksi sejarah manusia dari aspek fenomena-fenomena sosial. Dengan
intelektualitas yang diterjemahkan sebagai akal-budi, manusia adalah makhluk yang
selalu berevolusi. Dimana mereka hidup dalam sebuah kuasa hukum yang menawarkan
keseimbangan antara yang satu dengan yang lainnya. Sekumpulan manusia-manusia
itu sama-sama memiliki hasrat hidup yang damai dan sejahtera dengan kepentingan
masing-masing yang saling tercukupi satu sama lain.[11]
Dalam rangka menuju masyarakat yang
dicita-citakan August Comte seperti di atas, manusia musti melewati tiga tahap
yang sudah disusunnya dalam kerangka teori positivistic pada bagian sebelumnya.
Seseorang mesti melewati tahapan agama atau teologi yang dianggapnya abstrak
dan tahapan metafisika yang spekulatif. Karenanya, hanya ketika sampai pada
tahap ketiga, sebuah cita-cita keharmonisan dalam hidup bermasyarakat baru bisa
dicapai dalam tahap ilmu pengetahuan yang positif.
Ketika manusia dipandang sebagai suatu badan
hidup yang tak mati, ketika setiap individu menjadi bagian organisme demi
kepentingan keseluruhan, maka inilah yang disebut dengan holisme dan organisme.[12]
Dalam pembentukan masyarakat yang ideal
seperti harapannya, Comte menghimbau adanya percepatan terhadap peralihan
setiap fase atau tahapan dalam sejarah manusia. Termasuk dalam konteks rumusan
masyarakat dan Negara oleh para pendahulunya seperti konsep Orde-nya
Aristoteles (atau bahkan Republik-nya Plato). Dengan ungkapan-ungkapan general
(yang telah banyak dikutip), Comte menganggap teori-teori sebelunya sudah usang
dan sangat layak untuk ditinggalkan. Saatnya masa positivisme yang seharusnya digunakan hari ini. Terutama
keterlibatan agama (teologi) dalam urusan sosial semacam ini.
Ia tetap bersikeras dengan pendapatnya bahwa
jika masyarakat masih saja terkungkung dalam dogma-dogma agama,[13] maka
sebuah cita-cita tatanan masyarakat yang kolektif, holistik, dan organis tidak
akan terwujud. Tentu saja, konsepsi masyarakat yang demikian itu memiliki kerangka
kerja praktis dengan melibatkan
akal-budi manusia secara aktif.
Dengan formula bahwa akal-budi manusia
mendorong suatu proses evolusi tahap demi tahap, tergantung pada struktur
fenomena yang melatarbelakanginya. Semakin sederhana struktur fenomena atau
gejalanya maka akan semakin cepat proses evolusi akal-budi manusia. Sebaliknya,
semakin rumit struktur gejala fenomenanya maka akan semakin lambat proses
evolusi yang dimaksud. Misalnya dalam studi kasus penyelesaian rumusan
matematika, maka akan sangat cepat proses penerimaan akal-budi manusia pada
tahap ilmu pengetahuan positife. Karena sampai saat ini, jika perlu, tidak ada
satupun struktur fenomena dalam urusan matematika yang melibatkan tahap teologi
atau metafisika ke dalamnya.
Tetapi berbeda dengan contoh urusan cuaca.
Akal-budi seseorang bisa saja justru berhenti pada tahap teologi tanpa ada
inisiatif untuk berevolusi sama sekali. Pada struktur fenomena cuaca semisal
mendung yang tebal disertai petir-petir yang saling menyambar, mentok akal-budi
seseorang hanya akan berspekulasi antara hujan dan tidak. Jika selalu seperti
ini, menurut August Comte, proses menuju sejarah peradaban pemikiran manusia
yang baru akan terkendala.
Konsep masyarakat ideal yang ditawarkan
Comte tidak tanpa perhitungan atas implikasi-implikasi negatif atas evolusi
menuju era positivistik. Secara umum, Comte menawarkan agama baru dengan
menuhankan “kemanusiaan” atau “humanitas” untuk dijunjung tinggi dan dihormati
sebagai pengganti Tuhan yang Adikodrati dan transenden.
PMII ala Hukum Tiga Stadia August Comte
Sebagai catatan awal, bahwa penulis sendiri
tidak hendak memasukkan keseluruhan paradigma positivisme terhadap
gagasan-gagasan PMII. Akan tetapi, rupanya pola pergerakan PMII mendapatkan
pengaruh dari aliran tersebut. Pun ini adalah sebuah pembacaan awal yang
semestinya akan mendapatkan peninjauan kembali. Validitas dan data-data yang
bersumber dari referensi yang ada terkait sejarah PMII juga masih terbatas. Di
sisi yang lain teori kajian sosial yang tawarkan August Comte terdapat
persamaan misi.
Menurut penulis, era stadia pertama PMII adalah
masa dimana PMII masih menjadi gerakan underbow
NU selama dua belas tahun. Pada masa ini, nuansa teologis begitu amat terasa
dalam ruang gerak PMII. Akan tetapi, ketika mulai muncul gagasan agau NU
kembali ke khittah 1926, PMII menyatakan independensinya dari NU. Ini adalah
era dimana situasi politik semakin memanas sehingga pada tahun 1973, PMII
memutuskan independensinya dari NU. Pada tahun yang sama, NU mendikirkan PPP
sebagai gerbong politik NU. Dalam kerangka stadia kedua August Comte, PMII
mulai berspekulasi secara metafisis untuk ruang geraknnya di kemudian hari.
Pada stadia ketiga, adalah era reformasi
yang masih belum tuntas sampai hari ini. Cita-cita pergerakan menuju perbaikan
atas gejala-gejala sosial di negeri ini semakin besar. Sementara gempuran dari
gejala-gejala sosial tersebut semakin membuncah. Inilah realitas dari kondisi
kita hari ini. Seandainya...? []
[1]
Disampaikan pada diskusi rutin PMII Rayon Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran
Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Rabu, 11 Desember 2013.
[2]
Pengurus Cabang PMII DI Yogyakarta. Writer, Trainer, dan Fasislitator di
Komunitas Matapena dan sedang belajar film.
[3]
Isi Deklarasi Murnajati ini dibuat dan ditetapkan pada Musyawarah Besar ke-2 PB
PMII dengan menunjuk 8 orang tim perumus.
1. Umar
Basalim (Jakarta)
2. Madjidi
Syah (Bandung)
3. Slamet
Efendi Yusuf (Yogyakarta)
4. Man
Muhammad Iskandar (Bandung)
5. Choirunnisa
Yafzham (Medan)
6. Tatik
Farichah (Surabaya)
7. Rahman
Idrus
8. Muis Kabri
(Malang)
[4]
Manifesto Independen PMII ditetapkan tertanggal 28 Desember 1973 pada Kongres
ke V PMII di Ciloto, Jawa Barat.
[5]
Penegasan Cibogo, Rapat Pleno IV PB PMII.
[6] Isidore Auguste Marie Francois Xavier, Comte terlahir
dari keluarga Katolik yang taat di kota Montpellier Prancis pada 17 Januari
1798. Sebuah kota di Prancis selatan. Beberapa sumber menyertakan karakter
keluarganya dalam kaegori keluarga kelas menengah konservatif. (Lihat: K.J.
Veeger, Realitas Sosial, PT. Gramedia (Jakarta: 1985), cet. 1, hal 17.)
[7] “Positiv” dengan “v”, bukan dengan “f”. Dimaksudkan
hanya untuk membedakan pemaknaan terhadap paradigma yang diajarkan Auguste
Comte dengan kalimat-kalimat “positif” sebagai nilai yang baik semata.
[8] Disadur dari berbagai sumber. Dalam
hal ini penulis berusaha untuk proporsional dalam mendeskripsikan masing-masing
ciri standart ilmu pengetahuan positive.
[10]
Disari dari berbagai sumber di
internet dan buku K.J. Veeger, Realitas Sosial, PT. Gramedia (Jakarta:
1985), cet. 1, hal, 20-23.
[11] K.J. Veeger, Realitas Sosial, PT.
Gramedia (Jakarta: 1985), cet. 1, hal. 31.
[12]
Ibid.
[13] Pada abad ke-18 hingga sebagian awal
abad ke-19, rupanya August Comte merasa terkungkung dalam suasana agama
(Katolik) yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.
Karenaya kemudian Comte melakukan kritik secara tegas dan mengeneralisir akan
kebobrokan agama (di Prancis) pada waktu itu.
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.