मुहम्मद मह्रुस
"Hati kami, ternyata pengecut dan itu
membuat kita mudah dikelabui
sehingga jika ada permasalahan dalam
hidupmu
katakan pada hatimu,
‘santai…! Semuanya baik-baik saja! aal
iz well, aal iz well,’
dan kekuatan bertahan jadi
terkumpul"
Setiap kali nonton film, saya
cenderung mengamati gagasan yang ingin disampaikan dari film tersebut. Pada
saat yang bersamaan, alur dan suasana yang dibangun mulai mendominasi alam
bawah sadar saya. Hingga, terkadang, saya harus mengakui keberhasilan dari
kerja keras para crew yang mati-matian (dalam bayangan saya) dalam
proses produksinya. Sedangkan kesimpulan tentang apa yang menjadi harapan saya
sebelum nonton baru akan ada setelah film tersebut selesai.
Sebagai
salah satu bahan pengantar diskusi, selain karena saya kira dari penulis paper
yang lain sudah akan memaparkannya juga, pertama saya ingin mengajak para
penonton untuk membandingkan antara karya tulis dengan karya visual. Dimana
keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri.
Mengenai keterkaitannya sebagai
sebuah karya, dua-duanya merupakan “bahasa” sang Mutakallim (baca pula:
pemilik ide) yang ingin menyampaikan sesuatu terhadap para pembacanya.
Karenanya di dalamnya sudah pasti ada pesan yang ditampilkan sejauh kemampuan
bahasanya sendiri. Dalam hal ini, bahasa tulisan cenderung akan lebih
menggunakan struktur kalimat dengan menyesuaikannya terhadap kaidah-kaidah tata
bahasa dan struktur kalimatnya untuk meyakinkan bahwa apa yang tertulis adalah
sebuah “kebenaran”.
Sementara “bahasa” visual akan lebih menekankan pada aspek metode penyajian gambarnya. Menurut saya, pembaca (penyimak) akan banyak kecewa jika dalam alurnya banyak terpotong dengan dialog. Hal ini berlaku bagi keduanya. Sehingga idealnya, jika dalam tulisan, harus ada upaya penyajian alur yang desampaikan secara naratif. Dalam artian, bukan berarti mentiadakan dialog sama sekali. Lebih dari itu harusnya ada proporsi yang lebih ketika ingin menyampaikan gagasan melalui sebuah alur cerita. Sedangkan pad film, adegan-adegan dialog juga harus mendapatkan proporsi yang lebih sedikit dari pada pemunculan suasana yang dihasilkan lensa kamera. Karena antara mata inderawi dengan mata mekanis, isepakati ataupun tidak, ia memiliki jangkauan framing yang lebih luas. Belum lagi ketika dibandingkan dengan pengolahan imajinasi secara langsung.
Sementara “bahasa” visual akan lebih menekankan pada aspek metode penyajian gambarnya. Menurut saya, pembaca (penyimak) akan banyak kecewa jika dalam alurnya banyak terpotong dengan dialog. Hal ini berlaku bagi keduanya. Sehingga idealnya, jika dalam tulisan, harus ada upaya penyajian alur yang desampaikan secara naratif. Dalam artian, bukan berarti mentiadakan dialog sama sekali. Lebih dari itu harusnya ada proporsi yang lebih ketika ingin menyampaikan gagasan melalui sebuah alur cerita. Sedangkan pad film, adegan-adegan dialog juga harus mendapatkan proporsi yang lebih sedikit dari pada pemunculan suasana yang dihasilkan lensa kamera. Karena antara mata inderawi dengan mata mekanis, isepakati ataupun tidak, ia memiliki jangkauan framing yang lebih luas. Belum lagi ketika dibandingkan dengan pengolahan imajinasi secara langsung.
Kedua, perihal gagasan yang
disampaikan dari film “3 Idiot”, setidaknya yang tampak secara gamblang adalah
kritik sosial terhadap realitas civitas akademika dan mistisisme
dalam mitologi Hindustan. Dalam paper singkat ini saya ingin mengulas sedikit
tentang mistisisme yang diangkat dalam dilm tersebut.
All iz well, dipercaya
menjadi semacam do’a untuk menguatkan batin Rancho dan akhirnya semua
rekan-rekannya percaya terhadap do’a-mantra tersebut. Bagi saya, mitologi
seperti ini menunjukkan betapa sebenarnya manusia membutuhkan sesuatu yang di
luar kuasanya. Dalam film ini, Rancho menjadi representasi dari realitas yang
ada di India. Ia mewakili sebagian karakter masyarakatnya yang religius.
Sementara kompleksitas persoalan dalam masyarakatnya secara umum diwakili
dengan tokoh-tokoh lain. Kiranya demikian.
Selebihnya, film ini kiranya
digarap dengan serius. Mulai dari gagasan, gaya tutur, dan bahasa visual yang
sederhana namun cukup mewakili banyak hal. All iz well.[]
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.