9.2.13

अल इज वेल


मुहम्मद मह्रुस

"Hati kami, ternyata pengecut dan itu
membuat kita mudah dikelabui
sehingga jika ada permasalahan dalam hidupmu
katakan pada hatimu,
‘santai…! Semuanya baik-baik saja! aal iz well, aal iz well,’
dan kekuatan bertahan jadi terkumpul"

Setiap kali nonton film, saya cenderung mengamati gagasan yang ingin disampaikan dari film tersebut. Pada saat yang bersamaan, alur dan suasana yang dibangun mulai mendominasi alam bawah sadar saya. Hingga, terkadang, saya harus mengakui keberhasilan dari kerja keras para crew yang mati-matian (dalam bayangan saya) dalam proses produksinya. Sedangkan kesimpulan tentang apa yang menjadi harapan saya sebelum nonton baru akan ada setelah film tersebut selesai.
                Sebagai salah satu bahan pengantar diskusi, selain karena saya kira dari penulis paper yang lain sudah akan memaparkannya juga, pertama saya ingin mengajak para penonton untuk membandingkan antara karya tulis dengan karya visual. Dimana keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri.
Mengenai keterkaitannya sebagai sebuah karya, dua-duanya merupakan “bahasa” sang Mutakallim (baca pula: pemilik ide) yang ingin menyampaikan sesuatu terhadap para pembacanya. Karenanya di dalamnya sudah pasti ada pesan yang ditampilkan sejauh kemampuan bahasanya sendiri. Dalam hal ini, bahasa tulisan cenderung akan lebih menggunakan struktur kalimat dengan menyesuaikannya terhadap kaidah-kaidah tata bahasa dan struktur kalimatnya untuk meyakinkan bahwa apa yang tertulis adalah sebuah “kebenaran”.
Sementara “bahasa” visual akan lebih menekankan pada aspek metode penyajian gambarnya. Menurut saya, pembaca (penyimak) akan banyak kecewa jika dalam alurnya banyak terpotong dengan dialog. Hal ini berlaku bagi keduanya. Sehingga idealnya, jika dalam tulisan, harus ada upaya penyajian alur yang desampaikan secara naratif. Dalam artian, bukan berarti mentiadakan dialog sama sekali. Lebih dari itu harusnya ada proporsi yang lebih ketika ingin menyampaikan gagasan melalui sebuah alur cerita. Sedangkan pad film, adegan-adegan dialog juga harus mendapatkan proporsi yang lebih sedikit dari pada pemunculan suasana yang dihasilkan lensa kamera. Karena antara mata inderawi dengan mata mekanis, isepakati ataupun tidak, ia memiliki jangkauan framing yang lebih luas.  Belum lagi ketika dibandingkan dengan pengolahan imajinasi secara langsung.
Kedua, perihal gagasan yang disampaikan dari film “3 Idiot”, setidaknya yang tampak secara gamblang adalah kritik sosial terhadap realitas civitas akademika dan mistisisme dalam mitologi Hindustan. Dalam paper singkat ini saya ingin mengulas sedikit tentang mistisisme yang diangkat dalam dilm tersebut.
All iz well, dipercaya menjadi semacam do’a untuk menguatkan batin Rancho dan akhirnya semua rekan-rekannya percaya terhadap do’a-mantra tersebut. Bagi saya, mitologi seperti ini menunjukkan betapa sebenarnya manusia membutuhkan sesuatu yang di luar kuasanya. Dalam film ini, Rancho menjadi representasi dari realitas yang ada di India. Ia mewakili sebagian karakter masyarakatnya yang religius. Sementara kompleksitas persoalan dalam masyarakatnya secara umum diwakili dengan tokoh-tokoh lain. Kiranya demikian.
Selebihnya, film ini kiranya digarap dengan serius. Mulai dari gagasan, gaya tutur, dan bahasa visual yang sederhana namun cukup mewakili banyak hal. All iz well.[]

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.