13.2.13

BERDIALOG DENGAN MUSIK

Oleh: Muhammad Mahrus

Kali ini Gus Zaki tampak termenung sendiri, seperti biasa. Sementara aku sendiri belum berani menanyakan sesuatu perihal diamnya itu. Aku hanya berusaha sesabar mungkin mununggu apa yang hendak disampaikannya padaku. Sesaat kemudian ia mengajakku pindah duduk ke beranda rumahnya. Aku menurut. Benar saja. Setelah kami pindah, ia mulai mengajakku diskusi, lagi.
Musik, katanya, kini sedang mengusik hatinya setelah pada kesempatan kemarin hari ia mengajakku mendiskusikan syair. Meski entah apa yang membuat hatinya tertarik, aku mencernanya dan mengiyakannya karena aku juga tertarik.
Musik sudah menjadi bagian dalam segala aspek kehidupan masyarakat kita. Mulai dari sebagai ekspresi hingga media propaganda akan suatu kepentingan. Dalam hal ini, masyarakat kita sudah menjadi titik kulminasinya, yakni pasar dari berbagai kepentingan. Sementara musik menjadi salah satu media penyampaian propaganda tersebut. Padahal musik memiliki eksistensi dan nuansa estetis tersendiri.
Pada perkembangannya, penggunaan musik sendiri sudah mulai terkontaminasi dengan budaya-budaya eksternal dan itu cenderung menghilangkan karakter dari kedirian kita. Di satu sisi, hal ini bukanlah menjadi pesoalan karena hal itu juga memiliki keabsahan. Meskipun di sisi lain kita juga harus memiliki batasan-batasan tertentu sehingga perpaduan karakter dalam seni musik yang berbeda terjadi sebuah interaksi dialogis yang sehat.
Gus Zaki bertanya, bagaimana seandainya ada perpaduan antara musik pesantren dengan musik dari komunitas di luarnya. Awalnya aku sedikit ragu untuk menanggapi keseriusannya dalam hal itu. Akan tetapi, raut mukanya meyakinkanku untuk menanggapinya secara serius dan lugas.
Bagiku tidak ada yang aneh dan salah barangkali jika kita dari pihak pesantren untuk membuka pintu demi mengawali silaturrahmi dalam hal musik. Toh sebenarnya hal itu sudah kita lakukan sejak awal mula Islam masuk dengan mediasi pesantren. Bagaimana tidak jika kita melihat pada apa yang menjadi metode-metode para ulama kita dalam menyebarka Islam. Karena sudah menjadi pemahaman umum bahwa Islam yang ada di Indonesia sejak dulu hingga sekarang adalah Islam ala Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa dalam teori Hamka, abad ke-7 Masehi, Islam sudah mencoba masuk ke daratan Nusantara dan gagal berkembang karena Islam tidak bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Baru pada tahap kedua, sekitar abad ke-13 Masehi, Islam kembali lagi dan mulai berkembang dengan metode adaptasinya. Dengan bahasa yang sederhana, bagaimanapun seorang tamu harus menghormati tuan rumahnya. Inilah yang dilakukan para ulama dalam menyebarkan Islam ke tanah Nusantara, sebelum terjadi penyempitan wilayah geografis, dan selanjutnya kita kenal dengan Indonesia ini. Islam yang kita kenal sekarang ini adalah akibat metode warisan dari akulturasi tersebut.
Lebih lanjut, Gus Zaki menyatakan keinginannya secara lebih spesifik. Bahwa ia ingin mengajak komunitas Tionghoa untuk membentuk kolompok musik bersama. Ia takjub setelah melihat pentas sholawat yang memadukan unsur-unsur musik dengan berbagai etnik. Lalu aku bilang padanya; yang terpenting dalam dialog adalah pertemuan gagasan dan keselarasan hati.[]

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.