Oleh:
Muhammad Mahrus
Kali ini Gus
Zaki tampak termenung sendiri, seperti biasa. Sementara aku sendiri belum
berani menanyakan sesuatu perihal diamnya itu. Aku hanya berusaha sesabar
mungkin mununggu apa yang hendak disampaikannya padaku. Sesaat kemudian ia
mengajakku pindah duduk ke beranda rumahnya. Aku menurut. Benar saja. Setelah
kami pindah, ia mulai mengajakku diskusi, lagi.
Musik, katanya,
kini sedang mengusik hatinya setelah pada kesempatan kemarin hari ia mengajakku
mendiskusikan syair. Meski entah apa yang membuat hatinya tertarik, aku
mencernanya dan mengiyakannya karena aku juga tertarik.
Musik sudah
menjadi bagian dalam segala aspek kehidupan masyarakat kita. Mulai dari sebagai
ekspresi hingga media propaganda akan suatu kepentingan. Dalam hal ini,
masyarakat kita sudah menjadi titik kulminasinya, yakni pasar dari berbagai
kepentingan. Sementara musik menjadi salah satu media penyampaian propaganda
tersebut. Padahal musik memiliki eksistensi dan nuansa estetis tersendiri.
Pada
perkembangannya, penggunaan musik sendiri sudah mulai terkontaminasi dengan
budaya-budaya eksternal dan itu cenderung menghilangkan karakter dari kedirian
kita. Di satu sisi, hal ini bukanlah menjadi pesoalan karena hal itu juga
memiliki keabsahan. Meskipun di sisi lain kita juga harus memiliki batasan-batasan
tertentu sehingga perpaduan karakter dalam seni musik yang berbeda terjadi
sebuah interaksi dialogis yang sehat.
Gus Zaki
bertanya, bagaimana seandainya ada perpaduan antara musik pesantren dengan
musik dari komunitas di luarnya. Awalnya aku sedikit ragu untuk menanggapi
keseriusannya dalam hal itu. Akan tetapi, raut mukanya meyakinkanku untuk
menanggapinya secara serius dan lugas.
Bagiku tidak ada
yang aneh dan salah barangkali jika kita dari pihak pesantren untuk membuka
pintu demi mengawali silaturrahmi dalam hal musik. Toh sebenarnya hal itu sudah
kita lakukan sejak awal mula Islam masuk dengan mediasi pesantren. Bagaimana
tidak jika kita melihat pada apa yang menjadi metode-metode para ulama kita
dalam menyebarka Islam. Karena sudah menjadi pemahaman umum bahwa Islam yang
ada di Indonesia sejak dulu hingga sekarang adalah Islam ala Indonesia.
Sejarah mencatat
bahwa dalam teori Hamka, abad ke-7 Masehi, Islam sudah mencoba masuk ke daratan
Nusantara dan gagal berkembang karena Islam tidak bisa menyesuaikan diri dengan
keadaan. Baru pada tahap kedua, sekitar abad ke-13 Masehi, Islam kembali lagi
dan mulai berkembang dengan metode adaptasinya. Dengan bahasa yang sederhana,
bagaimanapun seorang tamu harus menghormati tuan rumahnya. Inilah yang
dilakukan para ulama dalam menyebarkan Islam ke tanah Nusantara, sebelum
terjadi penyempitan wilayah geografis, dan selanjutnya kita kenal dengan
Indonesia ini. Islam yang kita kenal sekarang ini adalah akibat metode warisan
dari akulturasi tersebut.
Lebih lanjut,
Gus Zaki menyatakan keinginannya secara lebih spesifik. Bahwa ia ingin mengajak
komunitas Tionghoa untuk membentuk kolompok musik bersama. Ia takjub setelah
melihat pentas sholawat yang memadukan unsur-unsur musik dengan berbagai etnik.
Lalu aku bilang padanya; yang terpenting dalam dialog adalah pertemuan gagasan
dan keselarasan hati.[]
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.