22.4.14

FENOMENOLOGI

Telaah Atas Metode Epistemologi Edmund Husserl[1]
Oleh: Muhammad Mahrus[2]

Abstraksi
Realitas adalah kenyataan yang sesungguhnya; hakikat; kaadaan sesuatu yang riil, atau benar-benar ada.[3] Dari yang genap hingga yang disebut-sebut sebagai realitas yang ganjil. Realitas, sebagaimana definisi tersebut, jamak terjadi tanpa diiringi dengan kesadaran subyek yang mengalami realitas tersebut. Sehingga, tinggallah realitas tersebut sebagai fenomena yang berlalu begitu saja. Sementara, setiap fenomena yang mewujud sebagai sebuah realitas semestinya mendapatkan penyikapan dari setiap subyek.


Apakah yang tampak nyata dalam fenomena? Barangkali pertanyaan tersebut yang dapat mengantarkan subyek menjumpai hakikat dari sebuah fenomena. Sebagaimana telah banyak dibahas dalam kajian tema ini, bahwa untuk memahami hakikat dari fenomena, maka semestinya subyek kembali pada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst). Karena, bagi Husserl, sebenarnya realitas itu tidak bisa lepas dari pengamatan subyek. Di sisi yang lain, realitas itu mewujud seiring dengan keberadaan subyek.[4] Sehingga, dengan alasan inilah fenomenologi dikembangkan untuk mendekatkan filsafat pada fenomena-fenomena dalam bentuknya yang murni.
Sebagai sebuah istilah, sebenarnya fenomenologi sudah pernah dipakai oleh beberapa filsuf modern sebelum dibakukan Husserl menjadi sebuah konsep ilmu yang independen. Sejarah mencatat bahwa J.H. Lambert (1728-1777), dalam ajarannya tentang gejala (fenomenologia), sebuah fenomena dapat dicari sebab-sebab subyektif dan obyektif dari ciri-cirinya. Istilah ini juga dipakai oleh Immanuel Kant dalam karyanya yang berjudul Prinsip-prinsip Pertama Metafisika (1786). Kant bermaksud untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dengan kategori modalitas. Dimana keterkaitan tersebutlah yang menjadi ciri dari fenomena indera lahiriyah.
Sebagaimana diketahui pula, bahwa Kant memberikan deskripsi atas realitas sebagai relasi antara fenomena (yang tampak) dan nomena sebagai hakikat dari yang tampak (das Ding an Sich) di luar kesadaran subyek. Bagi Kant, subyek hanya bisa mendapati fenomena-fenomena tanpa mengetahui nomena yang hakikatnya memang di luar kesadaran subyek. Selanjutnya, Hegel (1807) memberikan pengertian fenomenologi secara lebih luas. Menurut Hegel, fenomenologi adalah ilmu pengalaman kesadaran.  Dalam pengertian suatu deskripsi dialektis dari kesadaran kodrati menuju pengetahuan sebenarnya.
Dari ketiga penggunaan istilah fenomenologi di atas, secara umum adalah pemaparan tentang konsepsi realitas yang sepenuhnya obyektif. Sehingga, keterlibatan subyek ditiadakan dalam rangka memperoleh sebuah kebenaran atas fenomena yang dimaksud. Barangkali, bertolak dari konsepsi obyektif atas kebenaran sebuah fenomena inilah yang mendorong Husserl untuk memberikan konsepsi yang sebaliknya. Bahwa subyek seharusnya terlibat dalam menentukan kebenaran dari sebuah fenomena sebagai sebuah realitas. Tentu saja keterlibatan subyek yang dimaksud Husserl meliputi kesadaran dalam mengamati sebuah obyek.
Selain itu, fenomenologi yang dikembangkan Husserl merupakan reaksi penolakan terhadap positivisme. Dimana positivisme menganggap realitas merupakan fenomena yang berdiri sendiri dan bebas nilai. Sehingga setiap fenomena dapat dipahami secara parsial. Sementara, fenomenologi meyakini realitas sebagai sejumlah fenomena yang saling terkait, natural, dan tidak bebas nilai. Sehingga untuk memahaminya harus dilakukan secara holistik.

Biografi Singkat dan Karya-karya Edmund Husserl
Berikut adalah kutipan biografi singkat Edmund Husserl yang lahir dengan nama lengkap Edmund Gustav Albrecht Husserl.[5]
Edmund Gustav Albrecht Husserl di Prostějov (Prossnitz), Moravia, Ceko (yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Austria), pada 8 April 1859. Kemudian meninggal di Freiburg, Jerman, pada tanggal 26 April 1938 di usia 79 tahun. Husserl adalah seorang filsuf Jerman yang dikenal sebagai bapak fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomena obyektif.
Husserl dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi. Husserl adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf; karya filsafatnya memengaruhi, antara lain, Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada 1887 Husserl berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatdozent) dari 1887, lalu di Göttingen sebagai profesor dari 1901, dan di Freiburg im Breisgau dari 1916 hingga ia pensiun pada 1928. Setelah itu, ia melanjutkan penelitiannay dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga kemudian dilarang menggunakannya - karena ia keturunan Yahudi - yang saat itu dipimpin oleh rektor, dan sebagian karena pengaruh dari bekas muridnya, yang juga anak emasnya, Martin Heidegger.


Berikut ini adalah kutipan karya-karya Edmund Husserl dan karya-karya tentang Edmund Husserl yang diambil dari sumber yang sama:[6]
A.        Karya-karya Husserl
1.         1887. Über den Begriff der Zahl. Psychologische Analysen.
2.         1891. Philosophie der Arithmetik. Psychologische und logische Untersuchungen. [1970, Philosophy of Arithmetic]
3.         1900. Logische Untersuchungen. Erste Teil: Prolegomena zur reinen Logik. [1970, Logical Investigations. Vol 1]
4.         1901. Logische Untersuchungen. Zweite Teil: Untersuchungen zur Phänomenologie und Theorie der Erkenntnis. [1970, Logical Investigations. Vol 2]
5.         1911. Philosophie als strenge Wissenschaft. [1965, included in "Phenomenology and the Crisis of Philosophy: Philosophy as Rigorous Science and Philosophy and the Crisis of European Man"]
6.         1913. Ideen zu Einer Reinen Phänomenologie und Phänomenologischen Philosophie. Erstes Buch: Allgemeine Einführung in Die Reine Phänomenologie. [1931, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology]
7.         1923-24. Erste Philosophie. Zweiter Teil: Theorie der Phänomenologischen Reduktion. [1959, First Philosophy, Vol 2: Phenomenological Reductions]
8.         1925. Erste Philosophie. Erste Teil: Kritische Ideengeschichte. [1956, First Philosophy Vol 1: Critical History of Ideas]
9.         1928. Vorlesungen zur Phänomenologie des Inneren Zeitbewusstseins.
10.      1929. Formale und Transzendentale Logik. Versuch Einer Kritik der Logischen Vernunft. [1969, Formal and Transcendental Logic]
11.      1931. Méditations cartésiennes. [1960, Cartesian Meditations]
12.      1936. Die Krisis der europäischen Wissenschaften und die Transzentale Phänomenologie: Eine Einleitung in die phänomenologische Philosophie. [1970, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology: An Introduction to Phenomenological Philosophy]
13.      1939. Erfahrung und Urteil. Untersuchungen zur Genealogie der Logik. [1973, Experience and Judgment]
14.      1952. Ideen II: Phänomenologische Untersuchungen zur Konstitution.
15.      1952. Ideen III: Die Phänomenologie und die Fundamente der Wissenschaften.

B.        Karya-karya tentang Husserl
1.       Derrida, Jacques, 1976 (Inggris). Undecidables and Old Names: Derrida's deconstruction and Introduction to Husserl's the Origin of Geometry.
2.       Derrida, Jacques, 1967 (Perancis), 1973 (Inggris). Speech and Phenomena (La Voix et le Phénomène), and Other Essays on Husserl's Theory of Signs. ISBN 0-8101-0397-4
3.       Everdell, William R. (1998). The First Moderns. Chicago: University of Chicago Press. ISBN 0-226-22480-5.
4.       Hill, C. O., 1991. Word and Object in Husserl, Frege, and Russell: The Roots of Twentieth-Century Philosophy. Ohio Uni. Press.
5.       Hill, C. O., and Rosado Haddock, G. E., 2000. Husserl or Frege? Meaning, Objectivity, and Mathematics. Open Court, 2000.
6.       Mohanty, J. N. Edmund Husserl's Theory of Meaning. The Hague: Martinus Nijhoff, 1982.
7.       Mohanty, J. N. Husserl and Frege. Bloomington, IN: Indiana University Press, 1982.
8.       Mohanty, J. N. "Husserl and Frege: A New Look at Their Relationship." Research in Phenomenology. 4. 1974: 51-62.
9.       Natanson, Maurice,1973. Edmund Husserl: Philosopher of Infinite Tasks. Northwestern University Press. ISBN 0-8101-0425-3
10.    Rollinger, R. D., 1999. Husserl’s Position in the School of Brentano Phaenomenologica 150. Kluwer. ISBN 0-7923-5684-5
11.    Schuhmann, K., 1977. Husserl – Chronik (Denk- und Lebensweg Edmund Husserls). Number I in Husserliana Dokumente. Martinus Nijhoff. ISBN 90-247-1972-0
12.    Simons, Peter, 1987. Parts: A Study in Ontology. Oxford Uni. Press.
13.    Smith, B. and Woodruff Smith, D., eds., 1995. The Cambridge Companion to Husserl. Cambridge Uni. Press. ISBN 0-521-43616-8
14.    Tieszen, Richard, Mathematics, in David Smith and Barry Smith, eds., The Cambridge Companion to Husserl (Cambridge University Press, circa 2005).

Fenomenologi sebagai Metode Epistemologis
Di dalam kamus ilmiah populer, fenomenologi diartikan sebagai ilmu penentuan kesimpulan dari adanya gejala. Lebih lanjut, dengan menyederhanakan pengertian dari pencetusnya, fenomenologi adalah pengetahuan yang hanya dapat dicapai dengan kesadaran. Secara lebih spesifik, fenomenologi yang akan dibahas di sini adalah fenonemenologi transendental. Yakni aspek dari fenomenologi yang berusaha untuk menemukan kesimpulan yang saling berhubungan di antara kaidah-kaidah kesadaran manusia.[7] Hal ini perlu benar-benar digaris bawahi untuk membedakannya dengan fenomenologi yang digunakan J.H. Lambert, Immanuel Kant, dan Hegel sebagaimana telah disinggung di bagian sebelumnya.
Istilah fenomenologi, belakangan juga dikembangkan Max Scheler dalam bidang keagamaan. Yakni dalam bentuk ajaran tentang asal-mula pokok dan bentuk-bentuk yang bersifat keagamaan dan hakikat yang Ilahi maupun wahyu-Nya.[8] Akan tetapi, sekali lagi, fenomenologi yang akan dibahas di sini adalah fenomenologi transendental. Dimana Husserl sendiri mengantarkan kita pada pengertian ilmu tentang gejala-gejala yang tampak atau menampakkan diri.
Untuk mendedah kajian ini, kata kunci pertama adalah fenomena (fenomen) sebagai sebuah realitas sendiri yang tampak, tanpa penghalang apapun dari kita, akan tetapi realitas itu sendiri yang menampakkan diri pada kita. Kata kunci berikutnya adalah kesadaran. Kesadaran dalam pengertian sadar akan sesuatu, sebenarnya selalu mengarah pada realitas. Dimana, menurut Husserl, kodrat kesadaran itu bersifat intensional. Karenanya fenomena harus difahami sebagai sesuatu yang menampakkan diri. Bukan sebaliknya.
Berikutnya, konstitusi. Dalam pengertian sebuah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Konstitusi memiliki relasi yang sangat kuat antaran kesadaran dan realitas. Sehingga konstitusi menjadi sebuah proses menampaknya fenomena-fenomena pada kesadaran. Konstitusi ini pula yang akan memberikan gambaran pernyataan kebenaran sebuah realitas dengan sendirinya dari fenomen-fenomen. Jadi, realitas yang akan dikatakan benar dari fenomen-fenomen bukan ditentukan oleh persepsi subyek dan juga bukan ditentukan oleh obyek yang dipersepsikan.
Adapun contoh yang kerap kali dipakai untuk menggambarkan proses konstitusi ini adalah pengamatan kita terhadap sebuah gelas. Sebenarnya yang kita lihat merupakan perspektif dari gelas tersebut. Kita dapat melihatnya dari depan, samping, atas, dan bawah. Tapi tetap saja yang kita lihat adalah perspektif dari gelas. Bukan hakikat dari gelas tersebut. Dari pengamatan kita terhadap gelas tersebut, terdapat dua hal yang bisa disimpulkan. Pertama, persepsi kita tentang gelas yang diperoleh dari sudut pandang atau persepsi-persepsi atas gelas tersebut sebagai akumulasi dari sintesa kita tentang gelas. Kedua, sebagai obyek, gelas tersebut telah dikonstitusi. Belakangan, konstitusi yang dimaksud Husserl lebih dikenal dengan konstitusi genetis; proses yang menjadikan fenomen menjadi riil dalam kesadaran adalah aspek historisnya.
Fenomenologi menjadi sebuah metode epistemologis berangkat dari bentuk analisis deskriptif sebagai reaksi atas dominasi positivisme. Selain itu, Husserl juga memahami fenoemenologi sebagai suatu introspeksi terhadap kedalaman kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung. Sebagaimana keharusan perhatian filsafat, menurut Husserl, adalah fokus pada penyelidikan tentang kehidupan dunia lahiriyah dan batiniyah. Akan tetapi juga mengedepankan watak kesadaran intensional, bukan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Di sisi yang lain Husserl mengembangkan fenomenologi sebagai kritik atas kristisisme Immanuel Kant. Dimana Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran sedangkan noumena adalah realitas yang berada di luar kesadaran pengamat. Sampai di sini, Husserl menggunakan fenomenologi untuk menunjukkan apa yang tampak dari kesadaran atas fenomen-fenomen tanpa melibatkan persepsi akal. Sehingga fenomen-fenomen tersebut tampak dengan dirinya sendiri. Di sinilah yang membedakan antara fenomenologi Husserl dengan Kant. Husserl, sekali lagi, menganngap fenomena itulah yang justru sebagai realitas, bukan noumena sebagaimana yang dimaksud oleh Kant.
Kata kunci yang keempat adalah “reduksi fenomenologis”. Reduksi,[9] bagi Husserl, penting dilakukan sebelum melakukan kajian fenomenologis agar sampai pada “sikap fenomenologis”. Reduksi dimaksudkan untuk menetralisir sikap natural kita terhadap fenomena. Misalnya, bagaimana sikap kita terhadap dunia yang secara natural kita menyepakati keberadaannya. Maka kita butuh untuk melakukan reduksi terhadap sikap tersebut. Reduksi pada contoh tersebut bukan berarti kita harus menolak atau sekedar meragukan keberadaan dunia. Tapi ada atau tidaknya dunia direduksi sehingga sikap natural kita terhadap dunia menjadi tidak relevan lagi.
Selanjutnya, dalam rangka membahas fenomenologi sebagai metode epistemologis, proses reduksi di atas memberikan pijakan bagi Husserl untuk menuju “reduksi transendental”. Dari reduksi yang dimaksudkan Husserl, filsafat fenomenologi yang dibangunnya benar-benar mampu menjadi ilmu rigorous.[10] Dimana setiap istilah yang ada di dalam ilmu rigorous tidak boleh bersifat apodiktif.[11]
Prinsip dari filsafat fenomenologi Husserl adalah melakukan pendekatan terhadap fenomena-fenomena dalam bentuknya yang murni. Tidak penting fenomena tersebut adalah kenyataan atau rekaan; yang terpenting tidak mengembangkan suatu metode untuk memalsukan sebuah fenomena. “Zu den Sachen Selbst”, kembali pada benda-benda itu sendiri. Dalam hal ini, Husserl menawarkan dua langkah; epoche dan eidetich vision.[12] Sayangnya tidak banyak yang membahas tentang langkan yang kedua. Akan tetapi, untuk langkah yang pertama, jamak dimaknai dengan “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”.  
Sebagaimana telah dikutip banyak pembahas, empat langkah epoche adalah:
  1. Method of historical bracketing; methode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua keputusan.
  3. Method of transcendental bracking; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
  4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, menjadikan realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
Terakhir, ada dua hal yang dilakukan Husserl dalam membangun filsafat fenomenologi sebagai metode epistemologis. Pertama, pendekatan intuisi. Pendekatan ini tidak banyak digunakan, dan bahkan, bisa jadi belum pernah digunakan filsuf-filsuf lain untuk membangun sebuah konsep pengetahuan filosofis di abad kontemporer ini. Dalam hal ini, sebenarnya Husserl berangkat dari ide-ide gurunya, Franz Brentano (1838-1917). Kedua, Husserl mengadopsi sistematika Descartes untuk membangun konsep fenomenologinya. Sebagaimana banyak dikutip oleh para pembahas lain, berikut sistematika yang dimaksud:[13]
1.         Pertama, menetapkan bahwa argumentasi harus didasarkan hanya oleh pernyataan- pernyataan yang dapat di demonstrasikan secara benar. Orang harus mendefinisikan apa itu kebenaran dan kemudian mendefinisikan pernyataan-pernyataan kebenaran itu.
2.         Kedua, menyatakan bahwa orang perlu membagi masalah itu kedalam bagian-bagian yang sekecil mungkin agar dapat memfasilitasikan suatu solusi/pemecahan.
3.         Ketiga, mengindikasikan bahwa orang harus berjalan secara sistimatis dari komponen masalah yang paling sederhana ke masalah yang jauh lebih komplek, suatu prosedur yang menghasilkan hubungan antara komponen-komponen yang tidak segera dapat dilihat, tetapi akan muncul dalam pelaksanaannya.
4.         Keempat, menstimulasikan bahwa, dalam rangka suatu pekerjaan, pengkajian secara komprehensif  harus dilakukan atas suatu dasar yang teratur, untuk menjamin agar tidak ada yang terlupakan.

Penutup
Demikian kiranya yang dapat disusun dengan keterbatasan sumber rujukan primer. Sekiranya dapat dipermaklumkan sehingga dapat dilakukan perbaikan di kemudian hari.

Daftar Rujukan
Adian, Donny Gahral. 2002. Martin Heidegger: Seri Tokoh Filsafat. Jakarta: Teraju
Adian, Donny Gahral. 2005. Percik Pemikiran Kontemporer.Bandung: Jalasutra
Piliang, Yasraf Amir. 2008. Multiplisitas dan Diferensi. Bandung: Jalasutra
Rapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat.Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sukidin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia
Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius




[1] Tema ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Barat Kontemporer dan disampaikan dalam diskusi di Jurusan Falsafah dan Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 24 Februari 2014.
[2] Mahasiswa semester dua (belas) di jurusan Falsafah dan Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3] Kamus Ilmiah Populer, ARKOLA, Surabaya.
[4] Dalam  pembahasan ini, Martin Heiddeger juga memberikan pernyataan dari sudut pandang fenomenologi, bahwa sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia.
[5] Biografi singkat ini secara keseluruhan merujuk pada http://id.wikipedia.org/wiki/Edmund_Husserl
[6] Ibid.
[7] Arif Surahman, Kamus Istilah Filsafat, (Yogyakarta: 2012), MATAHARI, Cet. I, hal. 106.
[8] Ibid.
[9] Usaha untuk mencapai hakikat sesuatu dengan cara penyaringan.
[10] Tidak boleh mengandung keraguan.
[11] Tidak mengizinkan keraguan.
[12] Visi penyaringan untuk mendapatkan hakikat sesuatu.
[13] http://fahmyzone.blogspot.com/2012/09/fenomenologi-edmund-husserl.html

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.