Telaah Atas Metode Epistemologi Edmund Husserl[1]
Oleh: Muhammad Mahrus[2]
Abstraksi
Realitas adalah
kenyataan yang sesungguhnya; hakikat; kaadaan sesuatu yang riil, atau
benar-benar ada.[3]
Dari yang genap hingga yang disebut-sebut sebagai realitas yang ganjil.
Realitas, sebagaimana definisi tersebut, jamak terjadi tanpa diiringi dengan
kesadaran subyek yang mengalami realitas tersebut. Sehingga, tinggallah
realitas tersebut sebagai fenomena yang berlalu begitu saja. Sementara, setiap
fenomena yang mewujud sebagai sebuah realitas semestinya mendapatkan penyikapan
dari setiap subyek.
Apakah yang
tampak nyata dalam fenomena? Barangkali pertanyaan tersebut yang dapat
mengantarkan subyek menjumpai hakikat dari sebuah fenomena. Sebagaimana telah
banyak dibahas dalam kajian tema ini, bahwa untuk memahami hakikat dari
fenomena, maka semestinya subyek kembali pada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst). Karena, bagi
Husserl, sebenarnya realitas itu tidak bisa lepas dari pengamatan subyek. Di
sisi yang lain, realitas itu mewujud seiring dengan keberadaan subyek.[4]
Sehingga, dengan alasan inilah fenomenologi dikembangkan untuk mendekatkan
filsafat pada fenomena-fenomena dalam bentuknya yang murni.
Sebagai sebuah
istilah, sebenarnya fenomenologi sudah pernah dipakai oleh beberapa filsuf
modern sebelum dibakukan Husserl menjadi sebuah konsep ilmu yang independen.
Sejarah mencatat bahwa J.H. Lambert (1728-1777), dalam ajarannya tentang gejala
(fenomenologia), sebuah fenomena dapat dicari sebab-sebab subyektif dan
obyektif dari ciri-cirinya. Istilah ini juga dipakai oleh Immanuel Kant dalam
karyanya yang berjudul Prinsip-prinsip
Pertama Metafisika (1786). Kant bermaksud untuk menjelaskan kaitan antara
konsep fisik gerakan dengan kategori modalitas. Dimana keterkaitan tersebutlah
yang menjadi ciri dari fenomena indera lahiriyah.
Sebagaimana
diketahui pula, bahwa Kant memberikan deskripsi atas realitas sebagai relasi
antara fenomena (yang tampak) dan nomena sebagai hakikat dari yang tampak (das Ding an Sich) di luar kesadaran
subyek. Bagi Kant, subyek hanya bisa mendapati fenomena-fenomena tanpa
mengetahui nomena yang hakikatnya memang di luar kesadaran subyek. Selanjutnya,
Hegel (1807) memberikan pengertian fenomenologi secara lebih luas. Menurut
Hegel, fenomenologi adalah ilmu pengalaman kesadaran. Dalam pengertian suatu deskripsi dialektis
dari kesadaran kodrati menuju pengetahuan sebenarnya.
Dari ketiga
penggunaan istilah fenomenologi di atas, secara umum adalah pemaparan tentang
konsepsi realitas yang sepenuhnya obyektif. Sehingga, keterlibatan subyek
ditiadakan dalam rangka memperoleh sebuah kebenaran atas fenomena yang
dimaksud. Barangkali, bertolak dari konsepsi obyektif atas kebenaran sebuah
fenomena inilah yang mendorong Husserl untuk memberikan konsepsi yang
sebaliknya. Bahwa subyek seharusnya terlibat dalam menentukan kebenaran dari
sebuah fenomena sebagai sebuah realitas. Tentu saja keterlibatan subyek yang
dimaksud Husserl meliputi kesadaran dalam mengamati sebuah obyek.
Selain itu,
fenomenologi yang dikembangkan Husserl merupakan reaksi penolakan terhadap
positivisme. Dimana positivisme menganggap realitas merupakan fenomena yang
berdiri sendiri dan bebas nilai. Sehingga setiap fenomena dapat dipahami secara
parsial. Sementara, fenomenologi meyakini realitas sebagai sejumlah fenomena
yang saling terkait, natural, dan tidak bebas nilai. Sehingga untuk memahaminya
harus dilakukan secara holistik.
Biografi
Singkat dan Karya-karya Edmund Husserl
Berikut adalah
kutipan biografi singkat Edmund Husserl yang lahir dengan nama lengkap Edmund
Gustav Albrecht Husserl.[5]
Edmund
Gustav Albrecht Husserl di Prostějov (Prossnitz), Moravia, Ceko (yang saat itu
merupakan bagian dari Kekaisaran Austria), pada 8 April 1859. Kemudian meninggal
di Freiburg, Jerman, pada tanggal 26 April 1938 di usia 79 tahun. Husserl
adalah seorang filsuf Jerman yang dikenal sebagai bapak fenomenologi. Karyanya
meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada
masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua
pengetahuan kita tentang fenomena obyektif.
Husserl
dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi. Husserl adalah murid Franz Brentano
dan Carl Stumpf; karya filsafatnya memengaruhi, antara lain, Edith Stein (St.
Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger,
Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice
Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada 1887 Husserl berpindah agama menjadi
Kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia mengajar filsafat di Halle
sebagai seorang tutor (Privatdozent) dari 1887, lalu di Göttingen sebagai
profesor dari 1901, dan di Freiburg im Breisgau dari 1916 hingga ia pensiun
pada 1928. Setelah itu, ia melanjutkan penelitiannay dan menulis dengan
menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga kemudian dilarang menggunakannya -
karena ia keturunan Yahudi - yang saat itu dipimpin oleh rektor, dan sebagian
karena pengaruh dari bekas muridnya, yang juga anak emasnya, Martin Heidegger.
Berikut
ini adalah kutipan karya-karya Edmund Husserl dan karya-karya tentang Edmund
Husserl yang diambil dari sumber yang sama:[6]
A.
Karya-karya
Husserl
1.
1887.
Über den Begriff der Zahl. Psychologische
Analysen.
2.
1891.
Philosophie der Arithmetik.
Psychologische und logische Untersuchungen. [1970, Philosophy of Arithmetic]
3.
1900.
Logische Untersuchungen. Erste Teil:
Prolegomena zur reinen Logik. [1970, Logical
Investigations. Vol 1]
4.
1901.
Logische Untersuchungen. Zweite Teil:
Untersuchungen zur Phänomenologie und Theorie der Erkenntnis. [1970, Logical Investigations. Vol 2]
5.
1911.
Philosophie als strenge Wissenschaft.
[1965, included in "Phenomenology
and the Crisis of Philosophy: Philosophy as Rigorous Science and Philosophy and
the Crisis of European Man"]
6.
1913.
Ideen zu Einer Reinen Phänomenologie und Phänomenologischen
Philosophie. Erstes Buch: Allgemeine Einführung in Die Reine Phänomenologie.
[1931, Ideas: General Introduction to
Pure Phenomenology]
7.
1923-24.
Erste Philosophie. Zweiter Teil: Theorie
der Phänomenologischen Reduktion. [1959, First Philosophy, Vol 2: Phenomenological Reductions]
8.
1925.
Erste Philosophie. Erste Teil: Kritische
Ideengeschichte. [1956, First
Philosophy Vol 1: Critical History of
Ideas]
9.
1928.
Vorlesungen zur Phänomenologie des Inneren
Zeitbewusstseins.
10.
1929.
Formale und Transzendentale Logik.
Versuch Einer Kritik der Logischen Vernunft. [1969, Formal and Transcendental Logic]
11.
1931.
Méditations cartésiennes. [1960, Cartesian Meditations]
12.
1936.
Die Krisis der europäischen
Wissenschaften und die Transzentale Phänomenologie: Eine Einleitung in die
phänomenologische Philosophie. [1970, The
Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology: An Introduction
to Phenomenological Philosophy]
13.
1939.
Erfahrung und Urteil. Untersuchungen zur
Genealogie der Logik. [1973, Experience
and Judgment]
14.
1952.
Ideen II: Phänomenologische
Untersuchungen zur Konstitution.
15.
1952.
Ideen III: Die Phänomenologie und die
Fundamente der Wissenschaften.
B.
Karya-karya
tentang Husserl
1.
Derrida,
Jacques, 1976 (Inggris). Undecidables and
Old Names: Derrida's deconstruction and Introduction to Husserl's the Origin of
Geometry.
2.
Derrida,
Jacques, 1967 (Perancis), 1973 (Inggris). Speech
and Phenomena (La Voix et le Phénomène), and Other Essays on Husserl's Theory
of Signs. ISBN 0-8101-0397-4
3.
Everdell,
William R. (1998). The First Moderns.
Chicago: University of Chicago Press. ISBN 0-226-22480-5.
4.
Hill,
C. O., 1991. Word and Object in Husserl,
Frege, and Russell: The Roots of Twentieth-Century Philosophy. Ohio Uni.
Press.
5.
Hill,
C. O., and Rosado Haddock, G. E., 2000. Husserl
or Frege? Meaning, Objectivity, and Mathematics. Open Court, 2000.
6.
Mohanty,
J. N. Edmund Husserl's Theory of Meaning.
The Hague: Martinus Nijhoff, 1982.
7.
Mohanty,
J. N. Husserl and Frege. Bloomington,
IN: Indiana University Press, 1982.
8.
Mohanty,
J. N. "Husserl and Frege: A New Look
at Their Relationship." Research in Phenomenology. 4. 1974: 51-62.
9.
Natanson,
Maurice,1973. Edmund Husserl: Philosopher
of Infinite Tasks. Northwestern University Press. ISBN 0-8101-0425-3
10.
Rollinger,
R. D., 1999. Husserl’s Position in the
School of Brentano Phaenomenologica 150. Kluwer. ISBN 0-7923-5684-5
11.
Schuhmann,
K., 1977. Husserl – Chronik (Denk- und
Lebensweg Edmund Husserls). Number I in Husserliana Dokumente. Martinus
Nijhoff. ISBN 90-247-1972-0
12.
Simons,
Peter, 1987. Parts: A Study in Ontology.
Oxford Uni. Press.
13.
Smith,
B. and Woodruff Smith, D., eds., 1995. The
Cambridge Companion to Husserl. Cambridge Uni. Press. ISBN 0-521-43616-8
14.
Tieszen,
Richard, Mathematics, in David Smith and Barry Smith, eds., The Cambridge Companion to Husserl
(Cambridge University Press, circa 2005).
Fenomenologi sebagai Metode Epistemologis
Di
dalam kamus ilmiah populer, fenomenologi diartikan sebagai ilmu penentuan
kesimpulan dari adanya gejala. Lebih lanjut, dengan menyederhanakan pengertian
dari pencetusnya, fenomenologi adalah pengetahuan yang hanya dapat dicapai
dengan kesadaran. Secara lebih spesifik, fenomenologi yang akan dibahas di sini
adalah fenonemenologi transendental. Yakni aspek dari fenomenologi yang
berusaha untuk menemukan kesimpulan yang saling berhubungan di antara
kaidah-kaidah kesadaran manusia.[7]
Hal ini perlu benar-benar digaris bawahi untuk membedakannya dengan
fenomenologi yang digunakan J.H. Lambert, Immanuel Kant, dan Hegel sebagaimana
telah disinggung di bagian sebelumnya.
Istilah
fenomenologi, belakangan juga dikembangkan Max Scheler dalam bidang keagamaan.
Yakni dalam bentuk ajaran tentang asal-mula pokok dan bentuk-bentuk yang
bersifat keagamaan dan hakikat yang Ilahi maupun wahyu-Nya.[8]
Akan tetapi, sekali lagi, fenomenologi yang akan dibahas di sini adalah
fenomenologi transendental. Dimana Husserl sendiri mengantarkan kita pada
pengertian ilmu tentang gejala-gejala yang tampak atau menampakkan diri.
Untuk
mendedah kajian ini, kata kunci pertama adalah fenomena (fenomen) sebagai
sebuah realitas sendiri yang tampak, tanpa penghalang apapun dari kita, akan
tetapi realitas itu sendiri yang menampakkan diri pada kita. Kata kunci
berikutnya adalah kesadaran. Kesadaran dalam pengertian sadar akan sesuatu,
sebenarnya selalu mengarah pada realitas. Dimana, menurut Husserl, kodrat
kesadaran itu bersifat intensional. Karenanya fenomena harus difahami sebagai
sesuatu yang menampakkan diri. Bukan sebaliknya.
Berikutnya,
konstitusi. Dalam pengertian sebuah aktivitas kesadaran yang memungkinkan
tampaknya realitas. Konstitusi memiliki relasi yang sangat kuat antaran
kesadaran dan realitas. Sehingga konstitusi menjadi sebuah proses menampaknya
fenomena-fenomena pada kesadaran. Konstitusi ini pula yang akan memberikan
gambaran pernyataan kebenaran sebuah realitas dengan sendirinya dari
fenomen-fenomen. Jadi, realitas yang akan dikatakan benar dari fenomen-fenomen
bukan ditentukan oleh persepsi subyek dan juga bukan ditentukan oleh obyek yang
dipersepsikan.
Adapun
contoh yang kerap kali dipakai untuk menggambarkan proses konstitusi ini adalah
pengamatan kita terhadap sebuah gelas. Sebenarnya yang kita lihat merupakan
perspektif dari gelas tersebut. Kita dapat melihatnya dari depan, samping,
atas, dan bawah. Tapi tetap saja yang kita lihat adalah perspektif dari gelas.
Bukan hakikat dari gelas tersebut. Dari pengamatan kita terhadap gelas
tersebut, terdapat dua hal yang bisa disimpulkan. Pertama, persepsi kita tentang gelas yang diperoleh dari sudut
pandang atau persepsi-persepsi atas gelas tersebut sebagai akumulasi dari
sintesa kita tentang gelas. Kedua, sebagai
obyek, gelas tersebut telah dikonstitusi. Belakangan, konstitusi yang dimaksud
Husserl lebih dikenal dengan konstitusi genetis; proses yang menjadikan fenomen
menjadi riil dalam kesadaran adalah aspek historisnya.
Fenomenologi
menjadi sebuah metode epistemologis berangkat dari bentuk analisis deskriptif
sebagai reaksi atas dominasi positivisme. Selain itu, Husserl juga memahami
fenoemenologi sebagai suatu introspeksi terhadap kedalaman kesadaran dan
pengalaman-pengalaman langsung. Sebagaimana keharusan perhatian filsafat,
menurut Husserl, adalah fokus pada penyelidikan tentang kehidupan dunia
lahiriyah dan batiniyah. Akan tetapi juga mengedepankan watak kesadaran
intensional, bukan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.
Di
sisi yang lain Husserl mengembangkan fenomenologi sebagai kritik atas
kristisisme Immanuel Kant. Dimana Kant menggunakan kata fenomena untuk
menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran sedangkan noumena adalah
realitas yang berada di luar kesadaran pengamat. Sampai di sini, Husserl
menggunakan fenomenologi untuk menunjukkan apa yang tampak dari kesadaran atas
fenomen-fenomen tanpa melibatkan persepsi akal. Sehingga fenomen-fenomen
tersebut tampak dengan dirinya sendiri. Di sinilah yang membedakan antara
fenomenologi Husserl dengan Kant. Husserl, sekali lagi, menganngap fenomena
itulah yang justru sebagai realitas, bukan noumena sebagaimana yang dimaksud
oleh Kant.
Kata
kunci yang keempat adalah “reduksi fenomenologis”. Reduksi,[9]
bagi Husserl, penting dilakukan sebelum melakukan kajian fenomenologis agar
sampai pada “sikap fenomenologis”. Reduksi dimaksudkan untuk menetralisir sikap
natural kita terhadap fenomena. Misalnya, bagaimana sikap kita terhadap dunia
yang secara natural kita menyepakati keberadaannya. Maka kita butuh untuk
melakukan reduksi terhadap sikap tersebut. Reduksi pada contoh tersebut bukan
berarti kita harus menolak atau sekedar meragukan keberadaan dunia. Tapi ada
atau tidaknya dunia direduksi sehingga sikap natural kita terhadap dunia
menjadi tidak relevan lagi.
Selanjutnya,
dalam rangka membahas fenomenologi sebagai metode epistemologis, proses reduksi
di atas memberikan pijakan bagi Husserl untuk menuju “reduksi transendental”.
Dari reduksi yang dimaksudkan Husserl, filsafat fenomenologi yang dibangunnya
benar-benar mampu menjadi ilmu rigorous.[10]
Dimana setiap istilah yang ada di dalam ilmu rigorous tidak boleh bersifat apodiktif.[11]
Prinsip
dari filsafat fenomenologi Husserl adalah melakukan pendekatan terhadap
fenomena-fenomena dalam bentuknya yang murni. Tidak penting fenomena tersebut
adalah kenyataan atau rekaan; yang terpenting tidak mengembangkan suatu metode
untuk memalsukan sebuah fenomena. “Zu den
Sachen Selbst”, kembali pada benda-benda itu sendiri. Dalam hal ini,
Husserl menawarkan dua langkah; epoche dan
eidetich vision.[12]
Sayangnya tidak banyak yang membahas tentang langkan yang kedua. Akan
tetapi, untuk langkah yang pertama, jamak dimaknai dengan “menunda keputusan”
atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”.
Sebagaimana
telah dikutip banyak pembahas, empat langkah epoche adalah:
- Method of historical bracketing; methode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari.
- Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua keputusan.
- Method of transcendental bracking; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
- Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, menjadikan realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
Terakhir,
ada dua hal yang dilakukan Husserl dalam membangun filsafat fenomenologi
sebagai metode epistemologis. Pertama, pendekatan
intuisi. Pendekatan ini tidak banyak digunakan, dan bahkan, bisa jadi belum
pernah digunakan filsuf-filsuf lain untuk membangun sebuah konsep pengetahuan
filosofis di abad kontemporer ini. Dalam hal ini, sebenarnya Husserl berangkat
dari ide-ide gurunya, Franz Brentano (1838-1917). Kedua, Husserl mengadopsi sistematika Descartes untuk membangun
konsep fenomenologinya. Sebagaimana banyak dikutip oleh para pembahas lain,
berikut sistematika yang dimaksud:[13]
1.
Pertama, menetapkan bahwa argumentasi harus
didasarkan hanya oleh pernyataan- pernyataan yang dapat di demonstrasikan
secara benar. Orang harus mendefinisikan apa itu kebenaran dan kemudian
mendefinisikan pernyataan-pernyataan kebenaran itu.
2.
Kedua, menyatakan bahwa orang perlu membagi masalah
itu kedalam bagian-bagian yang sekecil mungkin agar dapat memfasilitasikan
suatu solusi/pemecahan.
3.
Ketiga, mengindikasikan bahwa orang harus berjalan
secara sistimatis dari komponen masalah yang paling sederhana ke masalah yang
jauh lebih komplek, suatu prosedur yang menghasilkan hubungan antara
komponen-komponen yang tidak segera dapat dilihat, tetapi akan muncul dalam
pelaksanaannya.
4.
Keempat, menstimulasikan bahwa, dalam rangka suatu
pekerjaan, pengkajian secara komprehensif
harus dilakukan atas suatu dasar yang teratur, untuk menjamin agar tidak
ada yang terlupakan.
Penutup
Demikian
kiranya yang dapat disusun dengan keterbatasan sumber rujukan primer. Sekiranya
dapat dipermaklumkan sehingga dapat dilakukan perbaikan di kemudian hari.
Daftar Rujukan
Adian, Donny Gahral.
2002. Martin Heidegger: Seri Tokoh Filsafat. Jakarta: Teraju
Adian, Donny Gahral.
2005. Percik Pemikiran Kontemporer.Bandung: Jalasutra
Piliang, Yasraf Amir.
2008. Multiplisitas dan Diferensi. Bandung: Jalasutra
Rapar, Jan Hendrik.
1996. Pengantar Filsafat.Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sukidin, Basrowi. 2002.
Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia
Sutrisno, Mudji &
Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta :
Penerbit Kanisius
[1] Tema ini disusun dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Barat Kontemporer dan disampaikan
dalam diskusi di Jurusan Falsafah dan Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 24 Februari 2014.
[2] Mahasiswa semester dua
(belas) di jurusan Falsafah dan Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3] Kamus Ilmiah Populer,
ARKOLA, Surabaya.
[4] Dalam pembahasan ini, Martin Heiddeger juga
memberikan pernyataan dari sudut pandang fenomenologi, bahwa sifat realitas itu
membutuhkan keberadaan manusia.
[5] Biografi singkat ini
secara keseluruhan merujuk pada http://id.wikipedia.org/wiki/Edmund_Husserl
[6] Ibid.
[7] Arif Surahman, Kamus Istilah Filsafat, (Yogyakarta:
2012), MATAHARI, Cet. I, hal. 106.
[8] Ibid.
[9] Usaha untuk mencapai
hakikat sesuatu dengan cara penyaringan.
[10] Tidak boleh mengandung
keraguan.
[11] Tidak mengizinkan
keraguan.
[12] Visi penyaringan untuk
mendapatkan hakikat sesuatu.
[13] http://fahmyzone.blogspot.com/2012/09/fenomenologi-edmund-husserl.html
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.