20.7.13

MENGHARGAI ALA MUKTI ALI

Oleh: Muhammad Mahrus

Sewaktu ingin memulai tulisan ini, pikiran mulai mencari-cari. Sekilas, sebenarnya tampak kesulitan dalam hal pendefinisian dari temanya; penghargaan. Baiklah, kita tidak akan membahas apa definisi dari istilah itu. Karena memang penghargaan itu tak butuh definisi verbal. Tapi lebih pada bagaimana kita merasakan dan melaksanakannya. Ruangnya jelas, pesantren. Apa saja yang musti kita ulas dari tema dan konteks ini? Dan sepertinya saya hanya akan berbagi cerita saja.

Saya pernah dapat kabar lewat satu catatan kolom Mahbub Djunaidi. Sewaktu Prof. Dr. Mukti Ali menjabat Mentri Agama, ada upaya dinamisasi terhadap lembaga bernama pesantren ini. Seperti apa bentuk konkrit serta mekanisme yang dipakai, Mahbub tidak menggambarkan secara mendetil. Tapi pada intinya, para santri itu harus mulai ikut dalam proses berproduksi. Demikian Mahbub menggambarkan. Ya, kira-kira, biar tidak jadi konsumen saja. Barangkali para santri itu ternyata hanya dianggap sebagai masyarakat konsumtif dan lambat mengikuti zaman. Dimana aktifitasnya cuma makan, tidur, dan sesekali ngaji. Sementara, kondisi negara yang sedang dalam tahap pembangunan, masyarakatnya tidak boleh enak-enakan sendiri. Apapun alasannya. Biar  pemerintah juga mudah memberi pelayanan kepada semua masyarakatnya. Sehingga keberadaan mereka perlu disoalkan.
Nah, barangkali ini saja yang kita cermati bersama. Dalam sudut pandangnya, Profesor Doktor Mukti Ali pada waktu itu membahasakannya sebagai apresiasi terhadap keberadaan pesantren dengan melibatkannya dalam pembangunan industri, izinkan saya menilainya sebagai penghargaan tehadap pesantren. Beliau melihat lembaga yang namanya pesantren ini cukup mampu menjadi pabrik tanpa modal yang besar. Dan ini adalah peluang, tentunya. Entah peluang untuk apa, saya tidak punya urusan. Tapi ketika ditilik dari latar belakangnya yang bukan seorang ekonom atau entrepreneur, membuat sebagian orang dari kalangan pesantren mempertanyakan tingkahnya itu. Apa benar itu merupakan apresiasi terhadap pesantren yang dikatakan tradisional? Atau justru itu sebagai upaya agar pesantren keluar dari tradisi (yang dianggapnya) kolot? Tentu kita bisa menebak dengan nalar masing-masing. Tapi yang jelas, beliau bukanlah seorang ekonom atau entrepreneur, bahkan santri pun sepertinya tidak. Kalau seorang akademisi, iya. Toh pada waktu itu, beliau sedang menjabat sebagai Mentri Agama.
Soal penghargaan dari pemerintah sebagaimana yang dilakukan Mukti Ali, itu justru menjadi sesuatu yang tidak realistis. Lihat saja pesantren-pesantren tua itu, satu pun tidak ada yang sudi ngemis-ngemis minta sumbangan pada pemerintah untuk kepentingan perjuangan. Karena rata-rata Kiainya pada zuhud. Kalau pun sekarang sudah mulai ada, berarti emang Kiainya yang sudah mulai turun derajat. Wajar juga sih, dalam urusan tafaqquh fi al-diin biasanya anak selalu kalah dengan bapaknya. Beda kalau urusan kekayaan. Anak relatif mampu mengalahkan sang Bapak. Buktinya, sampai hari ini masih banyak cerita para alumnus pesantren tentang kezuhudan Kiainya. Misal, seorang Kiai Jawa Timur yang pernah marah besar ketika ada seorang alumni mencoba memberikan hadiah mobil kepadanya. Padahal, sangat mungkin niatan si alumni yang kebetulan kaya itu benar-benar ikhlas, semata biar sang Kiai lebih mudah dalam menjalankan perjuangannya. Artinya, ternyata bentuk penghargaan seperti itu tidak cocok buat pesantren, terutama Kiai.
Entahlah, apa memang karena zaman sekarang orang sudah terlalu memberhalakan uang dalam segala aktifitasnya. Teorinya kita sudah sama-sama mafhum. Orang Madura mengistilahkan, “bedhe pakon-bedhe pakan”. Ada perintah-ada makanan. Dan maknanya pun bisa beragam. Tergantung situasi. Makanya upaya dinamisasi seperti yang diinginkan Profesor Doktor Mukti Ali juga butuh ongkos. Seperti yang dibahasakan Mahbub Djunaidi, pembangunan pun butuh ongkos. Tapi ternyata, bukan penghargaan seperti itu yang seharusnya diberikan pada pesantren, bukan?
Pada awal 2000-an, pemerintah kembali mengusik subkultur ini. Dengan mengeluarkan PP. Agama dan Keagamaaan, pemerintah berencana memberikan penghargaan kepada tenaga pengajar pesantren, baik Kiai maupun dewan pengajar dalam bentuk sertifikasi pengajar. Imbalannya tentu berupa pakan (gaji). Tapi ada syaratnya. Mereka harus memenuhi standar sebagai seorang pengajar, berijazah S1-lah. Dengan alasan, mereka tidak berhak dan layak menjadi pengajar jika belum berijazah. Baru penghargaan itu diberikan. Jika tidak, ya tidak. Tapi kalau dipikir lagi, ini bukan menghargai namanya. Justru menghina!

Sekarang, tidak hanya tenaga pengajar di pesantren yang kena getahnya. Mereka yang menjadi tenaga pengajar di sekolahan swasta, mau atau tidak, akan mengejarnya. Terutama yang masih muda. Kaum tua hanya beberapa saja. Jika yang tua merasa belum terlambat, apalagi yang muda. Sayangnya, karena terbentur dengan keadaannya yang beragam, akhirnya mereka mencari jalan seinstan mungkin. Pokoknya segera dapat ijazah. Di sisi yang lain, sepertinya orang sudah tidak terlalu perduli dengan perbedaan aktifitas dan pekerjaan. Sehingga aktifitas seperti belajar dan mengajar pun sekarang disebut pekerjaan. Lihat saja di KTP mereka yang sedang belajar atau mengajar.[] 

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.