Oleh: Muhammad Mahrus
Sewaktu ingin memulai
tulisan ini, pikiran mulai mencari-cari. Sekilas, sebenarnya tampak kesulitan
dalam hal pendefinisian dari temanya; penghargaan. Baiklah, kita tidak akan
membahas apa definisi dari istilah itu. Karena memang penghargaan itu tak butuh
definisi verbal. Tapi lebih pada bagaimana kita merasakan dan
melaksanakannya. Ruangnya jelas, pesantren. Apa saja yang musti kita ulas
dari tema dan konteks ini? Dan sepertinya saya hanya akan berbagi cerita
saja.
Saya pernah dapat kabar
lewat satu catatan kolom Mahbub Djunaidi. Sewaktu Prof. Dr. Mukti Ali
menjabat Mentri Agama, ada upaya dinamisasi terhadap lembaga bernama
pesantren ini. Seperti apa bentuk konkrit serta mekanisme yang dipakai, Mahbub
tidak menggambarkan secara mendetil. Tapi pada intinya, para santri itu harus
mulai ikut dalam proses berproduksi. Demikian Mahbub menggambarkan. Ya,
kira-kira, biar tidak jadi konsumen saja. Barangkali para santri itu ternyata
hanya dianggap sebagai masyarakat konsumtif dan lambat mengikuti zaman. Dimana
aktifitasnya cuma makan, tidur, dan sesekali ngaji. Sementara,
kondisi negara yang sedang dalam tahap pembangunan, masyarakatnya tidak boleh
enak-enakan sendiri. Apapun alasannya. Biar
pemerintah juga mudah memberi pelayanan kepada semua masyarakatnya. Sehingga
keberadaan mereka perlu disoalkan.
Nah, barangkali ini saja
yang kita cermati bersama. Dalam sudut pandangnya, Profesor Doktor Mukti Ali
pada waktu itu membahasakannya sebagai apresiasi terhadap keberadaan pesantren
dengan melibatkannya dalam pembangunan industri,
izinkan saya menilainya sebagai penghargaan tehadap pesantren. Beliau
melihat lembaga yang namanya pesantren ini cukup mampu menjadi pabrik tanpa
modal yang besar. Dan ini adalah peluang, tentunya. Entah peluang untuk apa,
saya tidak punya urusan. Tapi ketika ditilik dari latar belakangnya yang bukan
seorang ekonom atau entrepreneur, membuat sebagian orang dari kalangan pesantren
mempertanyakan tingkahnya itu. Apa benar itu merupakan apresiasi terhadap
pesantren yang dikatakan tradisional? Atau justru itu sebagai upaya agar pesantren
keluar dari tradisi (yang dianggapnya) kolot? Tentu kita bisa menebak dengan
nalar masing-masing. Tapi yang jelas, beliau bukanlah seorang ekonom atau
entrepreneur, bahkan santri pun sepertinya tidak. Kalau seorang akademisi, iya.
Toh pada waktu itu, beliau sedang menjabat sebagai Mentri Agama.
Soal penghargaan dari
pemerintah sebagaimana yang dilakukan Mukti Ali, itu justru menjadi sesuatu
yang tidak realistis. Lihat saja pesantren-pesantren tua itu, satu pun tidak
ada yang sudi ngemis-ngemis minta sumbangan pada pemerintah untuk kepentingan
perjuangan. Karena rata-rata Kiainya pada zuhud. Kalau pun sekarang sudah mulai
ada, berarti emang Kiainya yang sudah mulai turun derajat. Wajar juga sih,
dalam urusan tafaqquh fi al-diin
biasanya anak selalu kalah dengan bapaknya. Beda kalau urusan kekayaan. Anak
relatif mampu mengalahkan sang Bapak. Buktinya, sampai hari ini masih banyak
cerita para alumnus pesantren tentang kezuhudan Kiainya. Misal, seorang
Kiai Jawa Timur yang pernah marah besar ketika ada seorang alumni mencoba
memberikan hadiah mobil kepadanya. Padahal, sangat mungkin niatan si alumni
yang kebetulan kaya itu benar-benar ikhlas, semata biar sang Kiai lebih mudah
dalam menjalankan perjuangannya. Artinya, ternyata bentuk penghargaan seperti
itu tidak cocok buat pesantren, terutama Kiai.
Entahlah, apa memang karena
zaman sekarang orang sudah terlalu memberhalakan uang dalam segala
aktifitasnya. Teorinya kita sudah sama-sama mafhum. Orang Madura
mengistilahkan, “bedhe pakon-bedhe
pakan”. Ada perintah-ada makanan. Dan maknanya pun bisa beragam. Tergantung
situasi. Makanya upaya dinamisasi seperti yang diinginkan Profesor Doktor Mukti
Ali juga butuh ongkos. Seperti yang dibahasakan Mahbub Djunaidi, pembangunan
pun butuh ongkos. Tapi ternyata, bukan penghargaan seperti itu yang seharusnya
diberikan pada pesantren, bukan?
Pada awal 2000-an, pemerintah
kembali mengusik subkultur ini. Dengan mengeluarkan PP. Agama dan Keagamaaan,
pemerintah berencana memberikan penghargaan kepada tenaga pengajar pesantren,
baik Kiai maupun dewan pengajar dalam bentuk sertifikasi pengajar. Imbalannya
tentu berupa pakan (gaji). Tapi ada syaratnya. Mereka harus
memenuhi standar sebagai seorang pengajar, berijazah S1-lah. Dengan alasan,
mereka tidak berhak dan layak menjadi pengajar jika belum berijazah. Baru
penghargaan itu diberikan. Jika tidak, ya tidak. Tapi kalau dipikir lagi, ini
bukan menghargai namanya. Justru menghina!
Sekarang, tidak hanya tenaga
pengajar di pesantren yang kena getahnya. Mereka yang menjadi tenaga pengajar
di sekolahan swasta, mau atau tidak, akan mengejarnya. Terutama yang masih
muda. Kaum tua hanya beberapa saja. Jika yang tua merasa belum terlambat,
apalagi yang muda. Sayangnya, karena terbentur dengan keadaannya yang beragam,
akhirnya mereka mencari jalan seinstan mungkin. Pokoknya segera dapat ijazah.
Di sisi yang lain, sepertinya orang sudah tidak terlalu perduli dengan
perbedaan aktifitas dan pekerjaan. Sehingga aktifitas seperti belajar dan
mengajar pun sekarang disebut pekerjaan. Lihat saja di KTP mereka yang sedang
belajar atau mengajar.[]
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.