Oleh: Muhammad Mahrus**
Semacam Abstraksi
Pada suatu ketika, pada waktu yang tidak menentu, saya seringkali merasa “sendiri”. Padahal ketika itu, saya sedang duduk di kepengurusan Rayon (PMII Fakultas Ushuluddin). Pada saat yang sama, seharusnya ada banyak orang yang dapat membantu saya dalam menjalankan roda kepengurusan organisasi. Jika boleh dihitung semua, sekurang-kurangnya tercatat 60 nama dalam struktur kepengurusan.
Dalam situasi yang demikian, jika saya berharap keseluruhan nama yang ada harus berkumpul dan selalu berkumpul untuk mengeksekusi satu per satu dari rencana program yang sudah dibuat, itu jelas mustahil. Jangankan untuk berkumpul, apakah kami sebagai satu angkatan itu sudah cukup “sepakat” untuk mengawal roda kepengurusan organisasi ? sampai di sini saya sendiri mulai ragu.
Akan tetapi saya juga tak hendak menyalahkan mereka. Karena saya sadar, bahwa angkatan saya (Korp Pahlawan) tidak sepenuhnya—jika tak dianggap sopan bilamana saya katakan tidak sama sekali—dibesarkan Rayon. Pun saya tidak pernah mengeluh dengan situasi tersebut. Karena saya curiga, hampir semua rekan-rekan seangkatan saya itu, telah memilih dan memiliki “dunia”-nya masing-masing. Pada saat yang sama, sayangnya saya tidak berani menaruh kecurigaan yang sama pada dua angkatan di bawah saya. Serta, bagaimanapun jadinya, roda organisasi mutlak harus dijalankan.
Sejumlah “re” dan “isme-gerakan” yang Aktif Mengekor
Seringkali saya menjumpai imbuhan kata populer tersebut pada banner-banner kegiatan. Apakah itu berimbuh pada kata vital, konstruksi, definisi, dan produksi. Bahwa, dalam diskursus wacananya, saya selalu berdecak kagum apalagi ketika mengikuti proses pembentukan pada tema-tema acara dan kegiatan. Belakangan, saya menjadi bertanya-tanya, apakah nasib selanjutnya daripada kata-kata yang pernah menghiasi banner-banner tersebut? Termasuk pada isme-gerakan yang juga tidak sesekali saja imbuhan dan kata tersebut menggantikan yang saya sebut pertama.
Pada yang demikian itu, barangkali cukuplah saya sendiri yang menjadi risau. Karena saya mencoba membangun kesadaran bahwa pada tataran akar rumput organisasi PMII, utamanya Rayon Fakultas Ushuluddin, tertaman dengan pasti sebuah kepercayaan diri akan nama besar organisasi. Dengan segenap slogan-slogan yang memang sangat membantu membentuk karakter pribadi, sekaligus dengan intrik-intriknya. Baik intrik-intrik konstruktif hingga detruktif. Apakah benar ada? Bagai saya, iya! Silakan berkata tidak bagi yang kuper.
Terlentang, Telungkup, Merangkak, Berjalan, dan Berlari
Bagi saya, ada nomena yang beragam dalam setiap proses. Bahkan pada fenomena yang serupa. Secara personal, masing-masing dari kita akan mendapatkan pengalaman itu. Meskipun tanpa diketahui bangaimana cara mengkonsepsikan pengalaman tersebut. Juga secara komunal. Saya kira, akan menjadi baik bilamana ada upaya sistematis yang dapat dilakukan untuk merumuskan konsep pengalaman-pengalaman personal tersebut menjadi obyek material organisasi. Dengan demikian, organisasi yang sudah mewarisi segenap kebesarannya ini, tinggal mengolah bahan-bahan yang ada menjadi seperti yang dicitakan.
Rupanya, nama besar yang sudah melekat itu lambat laun tinggal menjadi romantisme semata. Pada setiap putaran periodik organisasi, tidak ada upaya untuk mengimbanginya dengan transendensi teori seperti yang dilakukan Kant pada epistemologi rasional dan empiris. Sementara, hari ini kita sudah punya acuan teori yang sebagian orang mengagungkannya tanpa tau maksud dan cara memahaminya.
Sampai di sini, saya curiga bahwa situasi demikian ini seperti tudingan Descartes terhadap kaum Skolastik. Terutama penganut tradisi Aristotelian. Dimana mereka dianggap tidak pernah melakukan apa-apa sementara telah mengaku menemukan penyelesaian pada peninggalan pemikiran Aristoteles. Bahkan, jangan-jangan mereka berfikirpun tidak pernah. Jika demikian adanya, barangkali penting untuk mencari ulang formula gerakan organisasi. Tentu saja dengan mencari definisi-definisi dari setiap bahan dasarnya. Saya cukup yakin, dengan kesungguhan yang istiqomah, akan lahir sebuah babak baru dalam gerakan organisasi ini.
Bagaimana Memulainya?
Pada bagian ini, saya tidak hendak berpanjang-panjang dahulu. Akan tetapi, menurut hemat saya, yang paling mendesak untuk dilakukan adalah melakukan identifikasi terhadap anggota organisasi. Secara struktural, rayon dapat mengutamakan pada tiga angkatan termuda di bawah naungan rayon. Setidaknya, sebagai pertimbangan efisiensi. Sementara identifikasi yang saya maksud adalah identifikasi terhadap kecenderungan setiap anggota. Baru kemudian dilakukan pemetaan dan komparasi terhadap lokus-lokus yang sudah ada di struktur kepengurusan rayon hari ini.
Seperti biasa, saya selalu membaginya secara umum pada dua bagian. Gerakan ekstra murni dan intra kampus. Jadi, sedini mungkin mereka harus memilih salah satunya. Mereka yang merasa memiliki gairah politik yang kuat, dan ingin mengasahnya, jalur intra kampus lebih tepat buatnya. Sebaliknya, siapa-siapa yang yang ingin berproses di gerakan ekstra murni, rayon adalah tempatnya. Dari dua pembagian besar ini, jika dapat dipatuhi secara massif, tidak akan ada dualisme—bahkan lebih—jabatan pada satu orang anggota dan proses yang zigzag. Pastinya, ini hanyalah contoh kecil saja, sisanya masih menjadi bahan mentah di kepala saya.
Wallahu a’lam.
*Disampaikan pada Studium General Rapat Kerja dan Pelantikan
Pengurus Rayon PMII Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam
Periode 2013-2014, di Pendopo LKiS, 03 Juli 2013
**Kader PMII Rayon Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.