Oleh: Muhammad Mahrus
Pendahuluan
Kajian tentang orientalisme sudah dilakukan berulang-ulang sejak
dari lahirnya kajian orientalisme sendiri lahir dan mulai berkembang. Di antara
sekian banyak literatur, ada yang menyimpulakan bahwa wilayah kajian tersebut
bermula sejak zaman daulah Islamiyah di Andalusia (Spanyol). Sebagian
menyatakan bermulanya ketika terjadi Perang Salib. Khusus untuk orientalisme
ketuhanan, munculnya ditetapkan secara resmi pada saat konsisi Gereja Viena
tahun 1312 M. konsisi tersebut diaplikasikan dengan memasukkan mamteri bahasa Arab
ke dalam berbagai universitas di Eropa.
Secara spesifik, pada tahun 1130, seorang kepala Uskup Toledo mulai
menerjemahkan beberapa buku ilmiah Arab. Sedangkan kajian orientalisme mulai
muncul pertama kali di Inggris pada pertengahan abad ke-18, pada tahun 1779.
Kemudian Prancis menyusul pada tahun 1799. Sekitar 39 tahun berikutnya, pada
tahun 1838, Orientalisme resmi masuk dalam kamus akademi Prancis.
Dari latar belakang seperti itulah kemudian mulai semakin
berkembang pula penyaduran-penyaduran berbagai karangan-karangan dalam bentuk
bahasa Arab, termasuk Al-Qur’an itu sendiri. Seperti Gerard de Cremona, seorang
orientalis Italia yang pergi ke Toledo dan mengikuti jejak kepala uskup Toledo
dengan menghasilkan karya terjemah tidak kurang dari 87 judul dari berbagai
macam keilmuan, antara lain: Filsafat, Kedokteran, Astronomi, dan Geologi.
Kemudian Pierre le Venerable, seorang pendeta Venezia dan kepala biarawan
Cluny, yang membentuk kelompok penerjemah untuk mendapat pengetahuan tentang
Islam. Selamjutnya ia dikenal sebagai orang yang pertama kali menerjemahkan
al-Qur’an ke dalam bahasa Latin. Sedangkan orientalis yang pertama kali
menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris adalah Robert of Ketton.
Sebagai sebuah wacana keilmuan, orientalisme terus berkembang
terutama di Negara-negara Eropa. Terutama Inggris. Munculnya para orientalis
dari Itali, Jerman, Prancis, dan Amerika, tidak menggeser Inggris sebagai
peletak dasar kajian ini milahirkan, dibangun, dan ditumbuhkembangkan. Mulai
dari para orientalis yang fanatik terhadap Islam sendiri hingga pada akhirnya
masuk Islam, Moderat (dalam hal ini cenderung dikatakan obyektif) seperti jakck
Burke, Anne Marrie, Thomas Carlyle, Goethe, dan Dr. Grainer. Hingga yang paling fanatic dalam eksplorasi
kajiannya tentang Islam. Bahkan saking fanatiknya,ada yang samapai dikuculkan
oleh kalangan orientalis Barat sendiri seperti Gustaf le Bon. Seorang
orientalis dan filosof materialis yang tidak pernah mempercayai agama.
Karenanya, secara umum karya-karyanya menyoroti peradaban Islam.
Berbeda dengan Z. Honke, misalnya. Dia dikenal sebagai orientalis
yang obyektif meski dengan menampilkan pengaruh peradaban Arab terhadap Barat.
Gagasan orientalnya dibukukukan dalam karyanya yang masyhur Matahari Arab
Bersinar di Barat.
Pembahasan
Kajian oriental yang dikembangkan pada perjalanannya bertemu dengan
kajian Islamic studies. Dimana kajian tersebut bukanlah hal yang terpisah dan
kemudian dipaksakan masuk ke dalam kajian-kajian oriental. Akan tetapi justru
menjadi ketergantungan yang tidak dapat dipisahkan atau dengan bahasa lain
islamic studies secara mendadak menjadi kebutuhan yang mendasar. Dari sub
kajian ini pula kemudian memunculkan kontain pembahasan yang lebih spesifik dan
lebih mendasar.mulai dari sejarah, kebudayaan Islam (yang meliputi seni dan
sastra), hingga teks-teks yang menjadi salah satu bukti konkrit keberadaan
Islam sebagai obyek kajian.
Pada kontain teks inilah para orientalis menjadi lebih mudah dalam
melakukan penelitian dan pemahaman (terlepas dari subyektifikasi maupun
obyektifikasi yang digunakan) terhadap (agama) Islam. Dan al-Qur’an menjadi
salah satu pilihan yang dominan karena merupakan teks yang disucikan oleh umat
Islam sendiri. Dari satu sumber ini, mereka sudah dapat memperoleh banyak
informasi, bahan, dan pengetahuan yang kemudian dijadikan landasan mereka
terhadap pemahaman tentang Islam. Dengan kata lain al-Qur’an adalah pilihan
yang tepat untuk mengkaji Islam.
Seorang tokoh orientalis seperti John Wansbrough menganalisis ayat
al-Qur’an sehingga menyimpulkan akan adanya keterpengaruhan tradisi
Yunani-Kriten terhadap Islam. Dalam teorinya, ia menyebutnya sebagai
post-profetik dengan menggunakan analisis historis seperti para pendahulunya.
Selain itu ia juga memberikan kritikan-kritikan akan kebenaran Muhammad sebagai
nabi. Baginya, Muhammad hanya tiruan dari sosok Musa yang dikembangkan secara
teologis untuk perkembangan masyarakat Arab. Bahkan, dari sangat ekstrimnya, John
Wansbrough mengklaim bahwa al-Qur’an tidak lebih dari perpanjangan dari kitab
Taurat sebagai konsep teologis yang disusun dan merupakan sumber biografis
Muhammad.
Misalnya, ketika merujuk pada ayat dalam surat As-Shaffat,
Wansbrough memaknai kata al-kitab atau kitabullah dengan ketetapan
(dorcee), tidak dengan kitab suci. Kemudian kata qul dalam
beberapa surat yang lain (al-An’am: 15, al-Raad: 36, al-Ankabut: 52), ia
berpendapat bahwa kata tersebut merupakan sisipan yang sengaja dimasukkan
Muhammad untuk menjustifikasi al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan Allah
kepadanya. Padahal, menurutnya, hal itu justru menjadi tidak logis dengan
hegemonitas bahasa yang berlebihan.
Di sisi lain, tokoh seperti Fazlur Rahman berpendapat bahwa untuk
mendapatkan latar belakang Islam secara konkrit memang harus dari tradisi Islam
sendiri. Tidak dari Yahudi dan Kristen. Sedangkan untuk wilayah interpretasi,
perlu pendekatan fenomenologis. Karena hanya dengan upaya tersebut akan mampu
mendapatkan hasil pencapaian terhadap esensi secara holistic dan totalitas. Singkatnya,
memang paradigma dan teori yang digunakan boleh sama, akan tetapi dengan
metodologi yang berbeda, semuanya bisa menghasilkan out put yang berbeda pula.
Apalagi ditambah dengan pemahaman historitas yang tidak seimbang.
Semacam
Simpulan dan Penutup
Banyak lagi contoh kasus yang terjadi dalam kajian Islamic studies serta
kaitannya dengan al-Qur’an. Pada intinya, ada perbedaan yang sangat tampak adalah
sebagai akibat dari penggunaan biblical critisizm. Sebagai kaum
akademisi, kita pun tidak berhak untuk menjustifikasi hasil kajian mereka
sebagai kajian yang salah atau benar. Meskipun keberpihakan akan pemikiran
tetap harus menjadi prioritas selama belum lahir out put pemikiran yang baru.
Kemungkinan-kemungkinan adanya inovasi inilah yang harus didukung. Bahkan jika
perlu, bersama ditumbuhkembangkan demi menuju pengetahuan.
Demikian makalah singkat ini dibuat sebagai bahan pengantar diskusi
mengenai kajian orientalisme. Lebih spesifiknya pada wilayah kajian Al-Qur’an
and Islamic Studies.
Wallahu A’lam Bisshawab
Sumber
Rujukan
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.