8.2.13

QURAN AND ISLAMIC STUDIES


Oleh: Muhammad Mahrus


Pendahuluan
Kajian tentang orientalisme sudah dilakukan berulang-ulang sejak dari lahirnya kajian orientalisme sendiri lahir dan mulai berkembang. Di antara sekian banyak literatur, ada yang menyimpulakan bahwa wilayah kajian tersebut bermula sejak zaman daulah Islamiyah di Andalusia (Spanyol). Sebagian menyatakan bermulanya ketika terjadi Perang Salib. Khusus untuk orientalisme ketuhanan, munculnya ditetapkan secara resmi pada saat konsisi Gereja Viena tahun 1312 M. konsisi tersebut diaplikasikan dengan memasukkan mamteri bahasa Arab ke dalam berbagai universitas di Eropa.
Secara spesifik, pada tahun 1130, seorang kepala Uskup Toledo mulai menerjemahkan beberapa buku ilmiah Arab. Sedangkan kajian orientalisme mulai muncul pertama kali di Inggris pada pertengahan abad ke-18, pada tahun 1779. Kemudian Prancis menyusul pada tahun 1799. Sekitar 39 tahun berikutnya, pada tahun 1838, Orientalisme resmi masuk dalam kamus akademi Prancis.
Dari latar belakang seperti itulah kemudian mulai semakin berkembang pula penyaduran-penyaduran berbagai karangan-karangan dalam bentuk bahasa Arab, termasuk Al-Qur’an itu sendiri. Seperti Gerard de Cremona, seorang orientalis Italia yang pergi ke Toledo dan mengikuti jejak kepala uskup Toledo dengan menghasilkan karya terjemah tidak kurang dari 87 judul dari berbagai macam keilmuan, antara lain: Filsafat, Kedokteran, Astronomi, dan Geologi. Kemudian Pierre le Venerable, seorang pendeta Venezia dan kepala biarawan Cluny, yang membentuk kelompok penerjemah untuk mendapat pengetahuan tentang Islam. Selamjutnya ia dikenal sebagai orang yang pertama kali menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Latin. Sedangkan orientalis yang pertama kali menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris adalah Robert of Ketton.
Sebagai sebuah wacana keilmuan, orientalisme terus berkembang terutama di Negara-negara Eropa. Terutama Inggris. Munculnya para orientalis dari Itali, Jerman, Prancis, dan Amerika, tidak menggeser Inggris sebagai peletak dasar kajian ini milahirkan, dibangun, dan ditumbuhkembangkan. Mulai dari para orientalis yang fanatik terhadap Islam sendiri hingga pada akhirnya masuk Islam, Moderat (dalam hal ini cenderung dikatakan obyektif) seperti jakck Burke, Anne Marrie, Thomas Carlyle, Goethe, dan Dr. Grainer.  Hingga yang paling fanatic dalam eksplorasi kajiannya tentang Islam. Bahkan saking fanatiknya,ada yang samapai dikuculkan oleh kalangan orientalis Barat sendiri seperti Gustaf le Bon. Seorang orientalis dan filosof materialis yang tidak pernah mempercayai agama. Karenanya, secara umum karya-karyanya menyoroti peradaban Islam.
Berbeda dengan Z. Honke, misalnya. Dia dikenal sebagai orientalis yang obyektif meski dengan menampilkan pengaruh peradaban Arab terhadap Barat. Gagasan orientalnya dibukukukan dalam karyanya yang masyhur Matahari Arab Bersinar di Barat.
Pembahasan
Kajian oriental yang dikembangkan pada perjalanannya bertemu dengan kajian Islamic studies. Dimana kajian tersebut bukanlah hal yang terpisah dan kemudian dipaksakan masuk ke dalam kajian-kajian oriental. Akan tetapi justru menjadi ketergantungan yang tidak dapat dipisahkan atau dengan bahasa lain islamic studies secara mendadak menjadi kebutuhan yang mendasar. Dari sub kajian ini pula kemudian memunculkan kontain pembahasan yang lebih spesifik dan lebih mendasar.mulai dari sejarah, kebudayaan Islam (yang meliputi seni dan sastra), hingga teks-teks yang menjadi salah satu bukti konkrit keberadaan Islam sebagai obyek kajian.
Pada kontain teks inilah para orientalis menjadi lebih mudah dalam melakukan penelitian dan pemahaman (terlepas dari subyektifikasi maupun obyektifikasi yang digunakan) terhadap (agama) Islam. Dan al-Qur’an menjadi salah satu pilihan yang dominan karena merupakan teks yang disucikan oleh umat Islam sendiri. Dari satu sumber ini, mereka sudah dapat memperoleh banyak informasi, bahan, dan pengetahuan yang kemudian dijadikan landasan mereka terhadap pemahaman tentang Islam. Dengan kata lain al-Qur’an adalah pilihan yang tepat untuk mengkaji Islam.
Seorang tokoh orientalis seperti John Wansbrough menganalisis ayat al-Qur’an sehingga menyimpulkan akan adanya keterpengaruhan tradisi Yunani-Kriten terhadap Islam. Dalam teorinya, ia menyebutnya sebagai post-profetik dengan menggunakan analisis historis seperti para pendahulunya. Selain itu ia juga memberikan kritikan-kritikan akan kebenaran Muhammad sebagai nabi. Baginya, Muhammad hanya tiruan dari sosok Musa yang dikembangkan secara teologis untuk perkembangan masyarakat Arab. Bahkan, dari sangat ekstrimnya, John Wansbrough mengklaim bahwa al-Qur’an tidak lebih dari perpanjangan dari kitab Taurat sebagai konsep teologis yang disusun dan merupakan sumber biografis Muhammad.
Misalnya, ketika merujuk pada ayat dalam surat As-Shaffat, Wansbrough memaknai kata al-kitab atau kitabullah dengan ketetapan (dorcee), tidak dengan kitab suci. Kemudian kata qul dalam beberapa surat yang lain (al-An’am: 15, al-Raad: 36, al-Ankabut: 52), ia berpendapat bahwa kata tersebut merupakan sisipan yang sengaja dimasukkan Muhammad untuk menjustifikasi al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Padahal, menurutnya, hal itu justru menjadi tidak logis dengan hegemonitas bahasa yang berlebihan.
Di sisi lain, tokoh seperti Fazlur Rahman berpendapat bahwa untuk mendapatkan latar belakang Islam secara konkrit memang harus dari tradisi Islam sendiri. Tidak dari Yahudi dan Kristen. Sedangkan untuk wilayah interpretasi, perlu pendekatan fenomenologis. Karena hanya dengan upaya tersebut akan mampu mendapatkan hasil pencapaian terhadap esensi secara holistic dan totalitas. Singkatnya, memang paradigma dan teori yang digunakan boleh sama, akan tetapi dengan metodologi yang berbeda, semuanya bisa menghasilkan out put yang berbeda pula. Apalagi ditambah dengan pemahaman historitas yang tidak seimbang.

Semacam Simpulan dan Penutup
Banyak lagi contoh kasus yang terjadi dalam kajian Islamic studies serta kaitannya dengan al-Qur’an. Pada intinya, ada perbedaan yang sangat tampak adalah sebagai akibat dari penggunaan biblical critisizm. Sebagai kaum akademisi, kita pun tidak berhak untuk menjustifikasi hasil kajian mereka sebagai kajian yang salah atau benar. Meskipun keberpihakan akan pemikiran tetap harus menjadi prioritas selama belum lahir out put pemikiran yang baru. Kemungkinan-kemungkinan adanya inovasi inilah yang harus didukung. Bahkan jika perlu, bersama ditumbuhkembangkan demi menuju pengetahuan.
Demikian makalah singkat ini dibuat sebagai bahan pengantar diskusi mengenai kajian orientalisme. Lebih spesifiknya pada wilayah kajian Al-Qur’an and Islamic Studies.
Wallahu A’lam Bisshawab

Sumber Rujukan

0 komentar:

Posting Komentar

Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.