Sebuah
Telaah atas Pola Pikir dan Kisah Manusia Nusantara dalam Arus Balik[i]
Oleh:
Muhammad Mahrus[ii]
“Ha! Mengantuk kalian terayun oleh keenakan-keenakan masa lalu. Kalian, orang-orang yang telah kehilangan harga diri dan tak punya cipta. Segala keenakan dan kebanggaan itu bukan hak kalian. Bahkan membiakkan pohon kelapa pun kalian tak mampu!”[iii]
Semacam Abstraksi
Kiranya,
penggalan dialog dalam karya monumental Pramoedya Ananta Toer di atas merupakan
salah satu narasi atas pengetahuan penulis terhadap pola pikir masyarakat Nusantara
pada kurun waktu abad ke-16 (hingga sekarang). Ketika itu, masyarakat Nusantara
sedang dalam situasi yang berat. Simbol kejayaan Nusantara hampir menjadi
dongeng dan legenda semata. Bahkan tanpa ruh
yang mampu menghasilkan horison baru. Sementara, Nusantara juga sedang dalam kungkungan lingkaran setan yang entah sampai kapan bermuara.
yang mampu menghasilkan horison baru. Sementara, Nusantara juga sedang dalam kungkungan lingkaran setan yang entah sampai kapan bermuara.
Barangkali,
Pram memang hanya seorang anak bangsa yang berani mengajarkan pada generasi
setelahnya agar lebih peka terhadap kompleksitas tantangan dan kemungkinan
harapan. Dia mengajarkan pada kita bagaimana mengenali diri, pun betapa mahal
harga diri. Dia juga mengajari kita tentang bagaimana seharusnya menghadapi
masa depan, baik dengan tangis maupun canda tawa. Dia meyakinkan kita bahwa
kita adalah manusia, penanggung jawab penuh atas diri dan bangsanya. Sedangkan
sejarah, sebagaimana air, tenang-menghanyutkan, beriak dan bergelombang,
berarus dan berpetaka. Tetapi, air adalah air, air adalah kehidupan.
Dalam
sejarah Nusantara, sayangnya tidak cukup tua peradaban Nusantara yang (ter)-sampai-(kan)
pada kita. Jika pun ada, sejarah peradaban Nusantara kebanyakan dilihat dari
teori evolusi yang lahir dari peradaban di luar Nusantara. Alurnya pun
terpotong-potong seakan memang tidak ada bagian penting selain yang telah
disajikan. Sehingga, kita menjadi generasi yang a historis terhadap sejarah peradaban kita sendiri.
Lintasan
sejarah Nusantara rupanya banyak yang terekam baik dalam pengetahuan Pram.
Lika-liku pergolakan, kemunafikan, kearifan, dan kebesarannya juga tidak luput
dari perhatiannya. Pram melihat Nusantara sebagai bangsa dengan peradaban yang
sangat tinggi, tinggi sekali. Genap dengan falsafah dan estetika yang
terkandung di dalamnya. Khusus dalam periode sejarah arus balik, Pram
menceritakan sejarah Nusantara (dengan suka-dukanya) sebagai bangsa yang pernah
besar dengan kekuatan armada laut; dimana periode sejarah ini adalah penggalan
sejarah bangsa yang dibangun oleh Majapahit; meliputi alasan-alasan
kebesarannya berikut implikasi pasca keruntuhannya.
Tak
dapat dipungkiri, bahwa akal sejarah masyarakat Nusantara seakan berjalan tanpa
alur. Di dalamnya juga terdapat berbagai macam konstruksi—yang seringkali kita
sebut sebagai kolonialisme-imperialisme—pengetahuan. Mulai dari aspek sosial,
politik, ekonomi, budaya, serta keyakinan dan agama. Dengannya, kita semakin
jauh dari bentuk masyarakat Jawa yang berkarakter, asli (pure form).
Nusantara; Arus Balik
Indonesia
dikenal sebagai bangsa yang luas wilayahnya lebih didominasi lautan. Dalam
sejarah Nusantara, Majapahit adalah kerajaan besar di antara
peradaban-peradaban besar di dunia. Majapahit adalah simbol kejayaan Nusantara
dengan segenap suka dukanya. Majapahit adalah cikal bakal Indonesia, meski
Indonesia tak sebagaimana Majapahit.
Sebagai
Negara maritim, Negara dengan kekayaan bahari, tanah subur Nusantara yang
dikenal dengan Indonesia seharusnya kita menjadi Negara yang makmur nan
perkasa. Didukung dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, genap dengan
falsafah dan estetika serta kebudayaannya yang beragam; Indonesia adalah surga
dunia. Karenanya bangsa dan Negara-negara menjadi iri dengan kekayaan yang
dimiliki Indonesia.
Sewaktu
Majapahit masih ada, masyarakat Nusantara tidak begitu khawatir dengan benturan peradaban yang terjadi dalam
berbagai bentuk. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Majapahit sampai pada
puncak kehancurannya. Sayangnya, masyarakatnya terlena dam riak gelombang
keruntuhan peradabannya sendiri; antara sadar dan tidak. Bangkitnya Demak pun
ternyata bukan jawaban atas faktisitas tersebut.
Secara
simbolik, runtuhnya Majapahit adalah terbukanya jalan atas sebuah arus dahsyat
dari negeri Atas Angin di Utara yang kemudian menghancurkan Nusantara (ini) di
Selatan. Arus itulah yang tak mampu dibendung anak-anak bangsa meskipun kesadaran
akan eksistensinya masih melekat. Sejak itu pula sebenarnya arus itu membawa
segala-galanya ke Nusantara. Termasuk kekacauan dan segala atribut
keburukannya. Arus balik: serangan balik yang mendorong masyarakat Nusantara
hingga pada titik nadhir yang tak dapat diprediksi batas akhirnya. Arus balik
tidak hanya mewujud dalam gelombang besar. Ia bisa merupa sebagai gemericik dan
riak gelombang yang sederhana. Tapi hantamannya terasa ketika arus tersebut
telah membawa peradaban yang telah rapuh nan lapuk termakan usia. Dengan atau
tanpa kesadaran dari peradaban itu sendiri.
Sebagaimana
tersebut di atas, bahwa gelombang dahsyat ini menerjang segala aspek dalam tata
peradaban Nusantara. Potensi kemakmuran dan kejayaan masyarakatnya terdorong ke
sudut kegelapan dan kehancuran. Intregitas bangsa menjadi taruhan. Wawasan
kebangsaan dan jati diri diperjualbelikan. Eksistensi seakan tak lagi penting
dalam jiwa masyarakatnya yang semakin kerdil.
Mengapa
arus balik? Benturan antar peradaban ini bermula dari jalur laut. dimana
sebagian tanda runtuhnya Majapahit adalah kekalahan pertempuran armada lautnya
yang kemudian mendorong masyarakatnya ke daerah pedalaman. Pergeseran wilayah
ini rupanya juga seiring dengan pola pikir yang semakin sempit. Sehingga
membentuk mental-mental inferior atas kekuatan-kekuatan yang ada di luar. Saya
menyebutnya, Mentalitas Inlander.
[i]
Paper ini dipresentasikan
dalam diskusi rutin Humaniora Park, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Rayon Fakultas Ilmu Sosial Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta, pada 29 November 2011.
[ii]
Penulis novel MAFIA;
Three in One, kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon
Pembebasan Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
[iii]
Toer, Pramoedya, Ananta, ARUS BALIK, Hasta Mitra, Jakarta, Juli
2001, Cet. IV, hal. 6.
0 komentar:
Posting Komentar
Setiap naskah terbuka untuk kritik dan komentar. Mari membangun iklim ilmiah dan tradisi berfikir bijaksana.